Jumat, 07 November 2014

Suwung : kondisi tiada makna

Sore ini aku mengalami kondisi suwung. Suatu kondisi tanpa harapan dan ketakutan. Sebuah kondisi yang ingin dicapai oleh para yogi dengan meditasinya untuk mengosongkan pikiran dari semua persepsi akan kausalitas dunia. Namun bagiku, kondisi suwung hanyalah sebuah fase dalam kehidupan ini agar bisa keluar dari carut marut kehidupan dunia yang relatif. Bagi saya, suwung adalah sebuah kondisi tiada persepsi akan segala obyek yang muncul dalam panca indra kita.Dalam kondisi ini, sering sekali aku diam saja, tanpa ingin berbicara dengan siapapun. Ketika menuliskan inipun aku malas menekan tuts-tuts keyboard yang semakin hari semakin usang.

"Apakah yang kamu cari di dunia ini ?", demikian sebuah pertanyaan yang muncul dari lubuk paling dalam diriku. Ketika semua akibat dan sebab tiada berarti sama sekali. Akupun tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku ini. Sering sekali aku terduduk, termenung, tapi tiada apapun yang muncul dalam benakku kecuali sebuah pertanyaan, "Apa yang kamu cari di dalam dunia ini, di dalam kehidupan ini ?". 

Biasanya setelah mengalami kondisi suwung, aku akan mendapatkan kesadaran akan kausalitas kemudian. Kebetulan sore ini, setelah aku mengalmai kondisi suwung, teringat kembali beberapa wacana mengenai dunia ini. 

NAH, saat ini aku sudah kembali memiliki kesadaran kausalitas setelah mengingat kembali pelajaran "Tertium Organum" dari Ouspensky, Critical Realism dari Bhaskar dan Integral Holon dari Ken Wilber. Ketiganya merupakan teosofis dalam kajiannya masing-masing. Apabila Ouspensky membuktikan adanya Organum Ketiga melalui pembuktian matematis, Bhaskar menggunakan kacamatanya sebagai filsof, Ken Wilber menggunakan kacamatanya sebagai ahli psikologi transpersonal.

Sudah bisa ditebak bahwa pembaca awam akan mengalami kesulitan memahami apa yang ketiga teosofis tersebut katakan. Barangkali hanya sebagian kecil yang bisa memahami pembahasan mereka.

Pada intinya, "hal" atau suatu kondisi suwung tersebut ada dalam setiap budaya spiritual dengan bahasa yang beragam. Apabila dalam Budhisme Zen disebutkan sebagai kondisi Zen, Budhisme Trevadha sebagai thathata atau kesedemikianan, dalam tradisi Jawa sebagai suwung.

Setelah kesadaran kausalitas muncul, maka kemudian muncul kondisi baru integratif yang apabila dibahasakan menjadi "memahami titik temu dualitas". Maka dalam beberapa spiritualitas Timur muncul istilah "kosong itu isi dan isi itu kosong" atau semacam "melar-mengkeret". 




Rabu, 04 Juni 2014

Optimisme Membangun Bangsa

Sikap pesimistik dan fatalistik telah menghinggapi bangsa ini. Sebuah penyakit yang sering sekali tak kita sadari keberadaannya. Sikap pesimistik yang muncul dalam alam bawah sadar bangsa ini dalam pandangan saya berasal dari alam bawah sadar kolektif bangsa Indonesia. Kita ingin menjadi spiritualis yang mengandalkan pada laku bathin, namun pemikiran kita sudah teracuni oleh inferioritas kompleks yang dimunculkan oleh mental inlander. Jadilah sebagian besar dari kita menjadi pesimistik dan fatalistik.

Bangsa nusantara jaman penjajahan Belanda diletakkan sebagai bangsa kelas III setelah golongan Eropa dan golongan Timur Asia. Terma "Timur Asia" memperjelas bahwa pencipta istilah tersebut berada pada weltanschauung "di sebelah barat" Asia. Pada era sumpah pemuda, suku-suku di seluruh nusantara bersatu pada untuk berjanji sebagai sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

Di era kemerdekaan abad 21 ini, masih ada rasa pesimistik ala inlander yang "somehow" terwarisi. Masih ingatkan ketika BJ Habibie meluncurkan pesawat CN 235 dan dicemooh oleh wartawan karena menganggap bahwa bangsa Indonesia tidak akan mampu memproduksi produk teknologi tinggi. Dalam setiap kesempatan, kita selalu menghakimi diri sendiri sebagai bangsa yang inferior dan "good for nothing nation". Hal ini pernah disebutkan oleh Anies Baswedan dalam Kuliah Umum Kepemimpinan yang diadakan oleh Teknik Geodesi. Kurang lebihnya Anies mengatakan bahwa pemilu legislatif yang diadakan pada tahun 2014 yang lalu merupakan pemilu yang rumit, dan bangsa Indonesia dianggap sebagai negara yang sukses menyelenggarakan pemilu dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Yang jadi permasalahan adalah banyak orang-orang baik yang tersingkirkan dari panggung politik karena orang baik tidak mendukungnya. Lebih lanjut Anies mengatakan bahwa, kita harus percaya diri dan jangan selalu menyalahkan diri kita sebagai sebuah bangsa yang berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi. Masalah money politics, Anies mengatakan bahwa sebenarnya permasalahan money ini sebenarnya sudah menjadi budaya kita, mulai dari sogok menyogok sampai dengan korupsi. Namun demikian, ia menyebutkan bahwa janganlah kita kehilangan kebanggaan kita akan keberhasilan kita.

Oleh karena itu, sebagai seorang insan Indonesia, kita harus senantiasa berpandangan positif dalam melihat bangsa ini.


Kamis, 29 Mei 2014

Mohon maaf capres lain, saya mengikuti Anies Baswedan

Pada awalnya, saya ragu untuk menentukan pilihan calon presiden untuk tahun 2014 ini. Waktu itu saya berfikir, capres mana yang dapat merepresentasikan idealisme saya sebagai pendidik sekaligus sebagai seorang warga negara Indonesia dalam membangun Indonesia.


Akhirnya saya terketuk hati dan pikiran saya untuk membuka kembali sejarah para tokoh yang mendukung para capres. Ada Amien Rais yang dulu sangat saya kagumi dan harapkan pada saat saya menjadi aktivis tahun 1998. Beliau merapat ke Prabowo-Hatta dan membela pasangan tersebut. Namun kemudian saya tidak melihat tokohnya saja, namun melihat motivasi saat ini mengapa mendukung Prabowo-Hatta. Kemudian saya melihat lagi Pak Machfud sebagai tokoh yang saya kagumi sebagai seorang yang reformis dan profesional. Namun kemudian sayapun bertanya, "Apakah motivasi beliau dalam memilih Prabowo-Hatta ?". Akupun bertanya, "Apakah motivasi Pak Machfud dalam memilih pasangan didasari oleh idealisme beliau atau oportunisme ?". Sayapun kemudian bertanya, "Apakah sama, visi-misi mu sama dengan visi-misi Pak Machfud dalam memilih capres ?".

Hati manusia tidak bisa ditebak. Dalam lautan dapat ditebak, dalam hati siapa tahu. Siapa bisa membaca maksud dalam hati pak Machfud dalam memilih pilpres, apakah sebagai ahli hukum, sebagai pribadi ataukah sebagai apa. Saya kemudian merubah kriteria saya dalam menentukan capres berdasarkan tokoh yang bisa dipegang visi-misi-nya. Terus terang saya kagum dengan karakter dan visi-misi Anies Baswedan.Nama itu tidak asing lagi di telinga saya. Beliau merupakan tokoh mahasiswa UGM yang melegenda pada saat masuk saya masuk sebagai mahasiswa di tahun 1994.

Mas Anies saya pandang bukanlah tipikal aktivitas tukang demo yang tidak memiliki konsep dan hanya berlindung di bawah ketiak ke-aktivisan-nya dalam hal prestasi dan kecemerlangan studi. Beliau adalah idola saya di saat saya berkiprah di Keluarga Mahasiswa UGM pada era 1995-1997. Waktu itu beliau sudah "pensiun" sebagai aktivis struktural intra-kampus, namun gaya dan pola-nya masih terkenal di kalangan aktivis waktu itu. 

Saat ini, saya menjadi pendidik di sebuah Perguruan Tinggi. Sempat saya merasa bahwa dunia kampus adalah dunia teoritis dan tidak membumi, lalu saya berfikir, "untuk apa menjadi pendidik di perguruan tinggi namun tidak bisa berguna bagi bangsa ini". Memang, dunia perguruan tinggi saat ini jauh lebih baik di era 90-an dulu. Jaman dulu, sebuah kelas mata kuliah sering sekali tidak sampai 14 pertemuan. Kadang hanya separuhnya alias dalam satu semester hanya diisi tujuh minggi, yang lainnya kosong. Namun saat ini, Perguruan Tinggi sudah memperbaiki kinerja-nya karena Kementrian Pendidikan memberlakukan sertifikasi BAN, sertifikasi dosen yang kemudian diimplementasikan oleh insitutsi secara menyeluruh. Namun demikian, saya sebagai pendidik kemudian merasa bahwa saya berkiprah hanya untuk memenuhi KUM, hanya untuk kenaikan jabatan agar mendapatkan sertifikasi, berusaha mendapatkan gelar professor. Intinya, profesi dosen menjadi tanpa ruuh dan cenderung terstandarisasi ala industri. Ya, perguruan tinggi telah menjelma menjadi sebuah industri yang dikontrol ketat oleh kinerja, dimana kinerja itu sering sekali tidak sesuai dengan output yang diharapkan karena langsung di benchmark dengan kondisi pendidikan tinggi di luar negeri yang situasi dan kondisinya berbeda.

Dalam kondisi seperti ini, saya akhirnya merenung dan bertanya, "Buat apa menjadi pendidik, namun merasa terkerdilkan darena menjadi pragmatis sebagaimana profesi karyawan an sich". Bukan berarti saya mengkerdilkan profesi karyawan, namun idealisme-ku sebagai pendidik awalnya adalah mencerdaskan bangsa, membentuk profesionalisme melalui pendidikan tinggi dan yang jelas memiliki visi-misi idealisme. Dus, seorang dosen seharusnya memiliki sebuah visi besar yang diwujudkan ke dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan hanya mengumpulkan KUM.

Anies Baswedan menginspirasi akan sebuah perubahan melalui pendidikan. Seorang pendidik yang memiliki dedikasi tinggi. Tidak mengherankan karena beliau dididik dalam lingkungan pendidik dimana ibundanya adalah seorang Profesor di Universitas Negeri Yogyakarta dan ayahanda beliau adalah mantan Rektor Universitas Islam Indonesia.  Barangkali fakta inilah yang menjadikan beliau sebagai aktivis yang peduli pendidikan. Kemudian menjadi researcher yang peka dinamika perpolitikan untuk melakukan transformasi pendidikan melalui gerak nyata. Beliau telah menginspirasi untuk berkarya tanpa melihat KUM dan kepangkatan. Untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya untuk kemudian menjadikan pendidikan tinggi bukan sebagai menara gading. 

Ada kemiripan pula antara aku dengan mas Anies dalam hal latar belakang keluarga. Meski kakek mas Anies adalah seorang negarawan di era awal Republik ini, namun beliau dibesarkan dalam keluarga pendidik. Akupun berasal dari keluarga pendidik. Ibuku seorang guru sekolah menengah pertama yang mengajarkan nasionalisme dan Pancasila sedangkan ayahku juga seorang Profesor bidang pendidikan. Aku-pun tergerak untuk memajukan pendidikan Indonesia dalam artian luas dan khusus. Dalam artian luas, aku tergerak untuk memajukan pendidikan dalam artian luas, karena pendidikan itulah yang membuka jendela intelektualitas dan dalam artian sempit aku berkiprah secara profesional dalam institusi. Aku tidak mengejar gelar Profesor, namun lebih pada dedikasi terhadap pembelajaran Indonesia dalam bidangku.

Dalam hubungannya dengan calon presiden, aku melihat bahwa pilihan Mas Anies untuk ikut dalam gerbong Jokowi-Jusuf Kalla bukan tanpa maksud. Beliau pasti melihat bahwa memihak pada salah satu capres adalah dalam rangka mengejawantahkan nilai perjuangan transformasi masyarakat melalui pendidikan. Pola berfikir beliau memang kadang disepelekan karena hanya menekuni, "gerakan Indonesia mengajar" yang notabene tidak langsung membawa pada perubahan. Tapi justru disitulah saya melihat bahwa konsep transformasi dalam dunia pendidikan berbeda dengan pertumbuhan dalam dunia ekonomi-industri. Untuk merubah mental dan mind-set tidaklah mudah, memerlukan waktu panjang dan perjuangan yang tiada henti. Seorang pendidik harus sabar bahwa hasil dari perjuangannya tidak bisa dihasilkan dalam satu malam, dan ketika berhasil, hasilnya-pun belum tentu menguntungkan secara ekonomis. Ketika ada permasalahan sosial yang berhubungan dengan pendidikan, pendidik sering disalahkan, namun ketika berhasil sering sekali terlupakan.

Mas Anies, aku mengikuti-mu untuk memilih presiden sesuai dengan aspirasi-mu. Aku harapkan kepemimpinan dan transformasi pendidikan di tangan-mu. Aku bantu dengan semua upayaku untuk Indonesia tercinta. Bismillah.....


Minggu, 25 Mei 2014

Memaknai Kembali Kemerdekaan Indonesia (Tulisan 3)

Setelah tulisan ke dua mengenai "Mengenai Kembali Kemerdekaan Indonesia" saya mempertanyakan sejarah terbentuknya sebuah kesepakatan akan adanya istilah Bangsa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebuah kristalisasi akan keberadaan sebuah bangsa dalam blantika hubungan antar manusia dalam lingkup nusantara. Pertemuan kelompok-kelompok manusia dalam satuan kerajaan telah mewarnai terbentuknya "pakta nusantara" berupa Sumpah Pemuda. Pakta nusantara tersebut didahului oleh kesamaan nasib sebagai jajahan Belanda beserta dialektika yang ada di dalamnya. Munculah kemudian Deklarasi Kemerdekaan Indonesia dan perjuangan revolusi untuk mempertahankan deklarasi 17 Agustus 1945. Lalu kita bertanya, apakah mungkin deklarasi 17 Agustus 1945 terjadi tanpa didahului oleh "pakta nusantara" bernama Sumpah Pemuda yang menyatakan, Bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, Indonesia. 

Pernahkah kita mencoba untuk melihat kemerdekaan Negara Timor Leste melalui kacamata mereka ? Apakah pernah terfikirkan bahwa partai APODETI dianggap sebagai pengkhianat Bangsa Maubereketika partai Apodeti memperjuangkan integrasi dengan Indonesia, sedangkan UDT menginginkan kemerdekaan secara bertahap dan FRETILIN menginginkan kemerdekaan lepas dari kekuasaan Portugal maupun dari kekuasaan Indonesia. Perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Maubere terletak pada ada/tidaknya envisioning sebagai sebuah bangsa yang satu.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa para pejuang kemerdekaan-pun memiliki sudut pandang sendiri-sendiri akan makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Apakah bangsa Indonesia secara politis mandiri, ataukah dalam sebuah persemakmuran ataukah tetap berada secara politis di bawah negeri Belanda ? Pandangan para pejuang-pun pada suatu titik tertentu membentuk faksi-faksi. Faksi relijius, nasionalis maupun komunis (demikian klasifikasi Soekarno terhadap ideologi para pejuang). Ada kelompok pejuang yang kemudian dieksekusi karena berhaluan komunis dan ingin mendirikan negara komunis Indonesia seperti Amir Syarifuddin. Ada kelompok pejuang yang kemudian dieksekusi karena berhaluan relijius dan ingin mendirikan pemerintahan Darul Islam semacam Kartosuwiryo. Ada kelompok pejuang yang kemudian berhaluan nasionalis dan secara politis mendirikan Negara Republik Indonesia yang kini kita kenal. Sejarah memang ditulis berdasarkan siapa yang memenangkan persaingan. Kalau saya pribadi lebih cenderung untuk memihak Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena terlahir di era 70-an. Konstelasi perpolitikan yang terjadi pada era 1945-1950 hanya dapat didengarkan dari sejarah perjuangan bangsa.

Terkembali pada bangsa Timor Leste, negeri Lorosae adalah negeri yang mereka diami dengan pemerintahan di bawah mandat rakyat yang terlahir melalui kemerdekaan "jejak pendapat 1999". Tidak ada istilah "bagian dari Indonesia" sebagaimana saya sendiri sekarang menyatakan "hidup mati NKRI" lepas dari pengaruh Belanda adalah sesuatu hal yang lumrah. Ketika ada orang tua bekas tentara NICA mengunjungi Indonesia dengan mengenang perjuangannya barangkali mirip-mirip dengan pensiunan tentara TNI yang ditugaskan di Timor Timur waktu itu. "Pengkhianatan" Eurico Hueterres dimata bangsa Lorosae barangkali sama dengan pandangan kita terhadap Sultan Hamid yang memihak Belanda maupun anggota KNIL dari Jawa, Ambon, Maluku yang memihak Belanda dan meninggal sampai tua di Belanda. 

Perbedaan antara Bangsa Indonesia dengan bangsa Maubere barangkali adalah belum adanya "saat" mengkristalkan diri sebagai sebuah bangsa. Timor Portugis mengalami vakum kekuasaan selama tiga bulan paska Revolusi Bunga (Carnation Revolution) di Portugal namun belum sempat mengalami kristalisasi sebagai sebuah bangsa sebagaimana bangsa-bangsa yang dikuasai pemerintah kolonial mencapai level awareness sebagai sebuah bangsa pada era 1900-saat sebelum PD II.

Memiliki sebuah kesamaan visi dan misi bagi sebuah bangsa adalah penting dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan. Hal ini dapat kita lihat pada pergulatan bangsa Indonesia dari menyadari sebagai sebuah bangsa sampai dengan mewujudkan sebuah negara bangsa (nation-state). 

Sebuah kontrak sosial telah bangsa ini lakukan untuk menyatakan eksistensinya sebagai sebuah entitas sosial, yang kemudian pada tahapan selanjutnya mencari bentuk dari eksistensi tersebut. Kemunculan eksistensi idiil menjadi kemunculan eksistensi riil membutuhkan perjuangan. Begitupun mengingat eksistensi idiil untuk mengisi eksistensi riil diperlukan untuk melangkah ke depan.

Andaikan Belanda berhasil menguasai NKRI dan menjadi Republik Indonesia Serikat, barangkali deklarasi kemerdekaan 17 Agustus tidak akan ada artinya. Begitupun apabila, misalnya, NKRI tidak bisa mempertahankan eksistensi de facto dan yuridis sebagai sebuah nation-state saat ini, maka deklarasi Sumpah Pemuda tidak akan ada artinya. Semoga itu tidak terjadi. Meski kita tidak menghendaki hal itu, namun kemungkinan terjadi seperti itu akan terjadi apabila kita tidak memahami makna sebuah kemerdekaan Indonesia. Dalam blantika sejarah, kita lihat bangsa bangsa mengalami pertumbuhan, kemajuan dan kemunduran sebagai konsekuensi sunnatullah. Adalah ujian yang berat untuk mempertahankan eksistensi de facto dan de jure sebuah nation-state, namun sebuah tantangan di era post-modern ini untuk mempertahankan eksistensi idiil akan apa itu makna idiil sebuah bangsa. 

Karena apabila tidak bisa menemukan kembali eksistensi idiil, apakah artinya sebuah nation-state. Dan apabila kita tidak dapat mempertahankan eksistensi riil sebuah bangsa, apakah kita harus bertanya kembali eksistensi idiil dan menemukan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa. After all, hidup ini adalah sekumpulan dialektika yang berkelindan untuk menuju sebuah makna sejati dari semua ini, yaitu MENGENAL SANG PENCIPTA dalam adanya ayat-ayat hidup.












Sabtu, 10 Mei 2014

Memaknai Kembali Kemerdekaan Indonesia (Tulisan 2)

Penting kiranya kita mendefinisikan makna kemerdekaan Indonesia saat ini. Pertama, karena kita memasuki era global dimana kita masuk dalam komunitas yang lebih luas dan kedua, karena kita akan memasuki Pemilihan Presiden 2014 yang akan menentukan proses perjalanan sebuah bangsa sekaligus negara.

Bangsa Eropa Barat sejak jaman eksplorasi menjadi bangsa yang sangat menentukan peta dunia kurang lebih selama lima ratus tahun. Penentuan peta dunia tersebut melalui proses panjang persaingan, yang semual terjadi di dalam benua mereka sendiri maupun persaingan pelayaran samudra dan eksploitasi wilayah-wilayah di luar kerajaannya. Adalah bangsa Spanyol dan Portugal yang mengawali penjelajahan samudra dan perdagangan. Tidak jarang kedua bangsa tersebut bersaing dan berperang satu sama lain hanya karena perebutan wilayah kekuasaan. Pada fase selanjutnya bangsa Eropa lain turut serta dalam pelayaran dan penguasaan perdagangan, termasuk di dalamnya Belanda dan Inggris. Sedangkan bangsa-bangsa lainnya turut serta dalam rantai perdaganganmeski tidak menguasai sampai hulu. Namun, the bottom line adalah negara Eropa kala itu berlomba-lomba untuk saling mengungguli, hanya saja masing-masing menggunakan keunggulannya untuk bersaing. 

Dua Perang Dunia telah membawa perubahan pada bangsa Eropa (plus Amerika Serikat) dengan terakhir membawa perubahan persaingan dari penguasaan ekonomi melalui penguasaan wilayah menjadi penguasaan ekonomi melalui industri. Setelah Perang Dunia II, persaingan menjadi persaingan industri yang kemudian merubah lanskap dunia lagi. Terakhir kita menyaksikan, dalam blantika dunia terjadi polarisasi atas dasar ekonomi, Uni Eropa terbentuk dan persaingan menjadi berubah, bukan antar negara Eropa Barat maupun bangsa-bangsa yang membentuknya, namun malah menjadi sebuah kekuatan ekonomi tersediri.

Bagaimanakah dengan negeri-negeri yang sebelum Perang Dunia terjajah ? Dimanakah posisi negeri-negeri tersebut saat ini ? Apakah sudah bisa mengejar ketertinggalan ekonomi setelah sekian abad dihisap sumber daya alam dan bio-massa untuk membangun negeri-negeri Eropa ? Apakah masih menjadi bangsa bermental inlander yang mudah dipecah-belah oleh kekuatan asing ?

Marilah kemudian kita melakukan napak tilas dari awal mula perjumpaan kerajaan-kerajaan nusantara yang dulu kala masih belum memiliki kesamaan visi dan misi mengidentifikasi diri sebagai sebuah bangsa Indonesia. Titik tonggak keberadaan bangsa terjadi pada 28 Oktober 1928 dan titik tonggak keberadaan negara pada tanggal 17 Agustus 1945. Melalui proses krisis yang terjadi pada rentang 1946-1950 yang sering disebut masa revolusi.


Memaknai Kembali Kemerdekaan Indonesia (Tulisan 1)

Di jaman kemerdekaan ini, ada baiknya kita mengingat kembali perjuangan para founding fathers kita dalam memerdekakan Indonesia. Hal ini penting karena di era globalisasi ini, bangsa Indonesia senantiasa berjuang untuk memperkuat eksistensi pada segala bidang diantara bangsa-bangsa di dunia ini. Era globalisasi dengan berbagai kemajuan, memiliki beberapa kelemahan yang patut kita garisbawahi. Diantara kelemahan adalah semakin kendurnya makna kebangsaan kita. Seolah kita lupa, bahwa globalisasi bukan berarti bahwa eksistensi kebangsaan Indonesia hilang ditelan jaman. Ketika perjuangan pergerakan kemerdekaan telah kita lewati dalam rentang yang sangat panjang dan sekarang kita mengisi kemerdekaan bukan berarti perjuangan pergerakan sudah usai. Memang, kita sudah dianggap sejajar sebagai sebuah bangsa dan Negara di dunia internasional, namun bagaimanakah dengan eksistensi bangsa kita di bidang lain ? Apakah rakyat kita sudah benar-benar merdeka ?

Dalam sejarah perjuangan pasti ada pro-kontra dalam menyikapi suatu hal. Hal ini berlaku pula pada kasus perjuangan pada beberapa peperangan yang terjadi di Nusantara sebelum kemerdekaan. Jadi sebenarnya, banyak sekali dari kejadian-kejadian dalam sejarah apabila tidak jeli maka akan terjebak pada menyalahkan penjajah Eropa dan melupakan antek-antek penjajah pribumi yang menjadi alat dari penjajah Eropa. Hal ini disebabkan karena pragmatisme berfikir dari antek-antek tersebut yang hanya melihat realitas keuntungan sesaat. Sedangkan sebaliknya para pejuang yang tercatat dalam sejarah pada waktu itu disebut sebagai pemberontak atau ekstrimis. Hanya kebetulan saja saat ini NKRI sebagai perwujudan perjuangan panjang bangsa Indonesia berdiri sehingga sejarah mencatat para pejuang adalah orang yang berjasa, sebalikya pribumi yang ada di pihak Belanda sebagai antek penjajah. Dalam hal ini berlaku istilah, "sejarah tergantung siapa yang memenangkan dan berkuasa". Apabila alur sejarah berlaku sebaliknya, maka boleh jadi Pangeran Diponegoro, Pattimura, Cut Nya Dhien akan menjadi pemberontak dalam sejarah.

Dengan memaknai kembali kemerdekaan Indonesia, maka kita membuat gerbang ke masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada saat pergolakan kemerdekaan beserta latar belakangnya, sehingga kita bisa memandang masa depan Indonesia dengan kacamata yang baru. Namun, bagaimana kita melihat sejarah, kita membutuhkan konteks dari kejadian-kejadian masa lalu secara lengkap dan hati-hati sehingga kita bisa memandang dengan tepat.

Marilah kita mengingat mengapa pada awalnya kita dijajah ? Meski penjajahan secara politis baru dimulai saat Pemerintah Hindia Belanda berdiri untuk mengambil alih wilayah kekuasaan VOC pada tahun 1800, namun penjajahan secara ekonomi sudah terjadi sejak bangsa Eropa datang ke Nusantara. Pembaca bisa membaca sejarah Nusantara di era 1800 bahwasanya pulau Jawa dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai seluruh wilayah nusantara tidak berhenti hingga Pulau Jawa. Sebagian wilayah mulai dikuasai oleh Belanda satu demi satu sampai ahmpir seluruh Nusantara dikuasai pada saat awal 1900. Demikian panjang usahan Belanda untuk menguasai Nusantara dan sedemikian panjang pula pergolakan-pergolakan Nusantara untuk melawan hegemoni Belanda. Tulisan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan Bangsa Belanda atau Bangsa Eropa lainnya dalam menguasai wilayah-wilayah jajahan, namun berusaha untuk mengingatkan bahwa perjuangan eksistensi sebuah bangsa itu diperlukan dalam setiap jaman. Perjuangan eksistensi telah terbukti dengan lahirnya Negara Republik Indonesia, namun perjuangan eksistensi secara ekonomi maupun peradaban masih sangat jauh. Intinya, dalam setiap jaman diperlukan perjuangan sebuah bangsa untuk diakui dalam kancah kehidupan ini. 
Barangkali kita lupa dari proses perjalanan sejarah masa lalu bahwasanya eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa memerlukan waktu yang lama. Munculnya Sumpah Pemuda merupakan sebuah deklarasi akan eksistensi sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Tanpa Sumpah pemuda yang dideklarasikan 28 Oktober 1928, barangkali perjuangan politik tidak ada artinya. Dengan adanya eksistensi sebuah bangsa maka kemudian muncul kesadaran akan perlunya sebuah nation state. Ya, sebuah nation memerlukan sebuah state atau Negara untuk hidup. Manuel Castells (2000) menganjurkan agar perlu membedakan antara negara dengan bangsa. Negara adalah organisasi politik yang secara eksternal merupakan kekuatan independen, dan secara internal adalah kekuasaan tertinggi, dengan kekuatan utama ada di rakyat dan uang untuk menjagai independensi dan otoritasnya. Paling tidak ada beberapa kasus yang bisa menjadi cerminan hubungan bangsa dan Negara. Apabila castells (2000) mengamati kasus (1) nation without state dan (2) nations against state maka kita bisa menambahkan nations distributed into different states. Dalam relasi Negara dan bangsa, Castell mengamati kasus Catalunia dan Uni Sovyet. Untuk kasus Catalunia Castells menyebutnya sebagai nation without state sedangkan untuk kasus Uni Sovyet sebagai nations against state.  

Castells menggunakan bangsa Catalonia sebagai kasus nation without state. Sedangkan kita bisa juga memasukkan bangsa Palestina sebagai bangsa tanpa negara ketika masih harus hidup dibawah regim Israel.Sedangkan bangsa Kurdi merupakan sebuah bangsa yang masuk ke dalam negara yang berbeda-beda. Bangsa Kurdi yang bermukim dan hidup di Kurdistan, yaitu wilayah pegunungan di Asia Barat yang termasuk bagian dari Turki, Iran, Irak, Suriah, dan Armenia. Beberapa kali bangsa ini mencoba untuk mendirikan Kurdistan Raya namun gagal, sehingga pada akhirnya mereka lambat laun menerima tawaran otonomi khusus dari Negara tempat mereka berada..

Sebutan suku-bangsa dan bangsapun menjadi kabur ketika kita melihat suku Kurdi. Dalam konteks kebangsaan sebenarnya ia adalah Bangsa Kurdi yang memiliki keterkaitan sejarah dan wilayah geografis. Dalam konteks dimana ia berada maka ia masuk ke dalam sub-bangsa, missal dalam negara Irak mereka masuk dalam kategori suku Kurdi, begitupun di wilayah negara Iran, Turki, Suriah maupun Armenia.

Uni Sovyet lebih mirip dengan Indonesia yang terdiri dari kelompok masyarakat yang beragam. Jaman dahulu Uni Sovyet identik dengan bangsa Rusia, kendatipun di dalamnya banyak sekali bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan masuk dalam Negara Uni Sovyet. Ketika mengalami disintegrasi, maka lahirlah berbagai Negara-bangsa.

Nah, kasus Indonesia barangkali unik karena proses perjalanan menjadi Republik Indonesia sekarang ini mengalami proses yang berliku. Semoga tidak terjadi sebagaimana pada Negara Yugoslavia dan Uni Sovyet karena akan terjadi pembalikan sejarah yang menyakitkan. Apabila di NKRI mengalami disintegrasi, bukan hanya mengingkari perjanjian sacral Proklamasi Kemerdekaan, namun juga mengingkari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Untuk itu marilah kita mengingat kembali proses menjadinya sebuah bangsa yang terkristalisasi pada saat Sumpah Pemuda 1928 untuk kemudian mengingat kembali proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Apakah yang terjadi apabila Sumpah Pemuda tidak ada ? dan apakah yang terjadi apabila tidak pernah ada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ? Akankah bangsa Indonesia ada ? Apakah sebuah Negara ada untuk merepresentasikan bangsa/suku-bangsa yang mendiami nusantara ?
Perlu kita memaknai kembali makna kemerdekaan Republik Indonesia ini di era globalisasi. Globalisasi memiliki dampak akan apakah itu nation state. Dunia memang mengalami perubahan yang pesat di era modern ini. Apabila paska Perang Dunia II membawa dampak diakuinya kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan mendirikan sebuah Negara, maka setengah abad kemudian kita mempertanyakan kembali eksistensi sebuah bangsa dan Negara dalam kancah global. <BERSAMBUNG>

Rabu, 07 Mei 2014

Pada hakekatnya, kita semua pelayan

Tuhan menurunkan agama kepada manusia, agar manusia mendapatkan petunjuk akan apa yang harusnya dilakukan manusia dalam kehidupan ini, sebagai bekal di akherat kelak. Untuk itu manusia harus melakukan kebajikan-kebajikan di dunia ini dalam rangka mendapatkan surga kelak.

Demikian pandangan umum manusia dalam melihat agama, yaitu sebuah cara agar manusia masuk surga dan terjauh dari api neraka. Hal ini tidaklah salah, Tuhan-pun memberikan keterangan itu dalam kitab suci. Namun, apakah benar-benar demikian bagi orang-orang yang tidak mengharapkan surga ?

Jadi, APA yang seharusnya dilakukan manusia dan BAGAIMANA seharusnya melakukannya merupakan pertanyaan yang sering muncul dalam benak kita.

A. APA yang seharusnya dilakukan manusia
Ketika kita membaca skrip-skrip suci keagamaan, sering sekali satu kata ini terlewatkan, yaitu melayani. Dalam beberapa ajaran tasawuf (ajaran spiritual Islam), ditekankan bahwa seorang salik dalam berguru kepada sang guru harus melayaninya. Sebuah aturan yang barangkali sangat feodalistik dalam masyarakat modern ini. Namun sebenarnya, proses melayani sang guru itu merupakan sebuah pembelajaran akan pelayanan kepada Sang Khaliq yang dilakukan melalui wasilah sang guru.

Ketika kita melihat pribadi para nabi, kitapun lupa bahwa apa yang mereka lakukan adalah jalan pelayanan. Para nabi dan rasul melayani Tuhan melalui pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan dan kewenangan didapatkan secara "Divine" yang tidak diperuntukkan bagi pelayanan. Perbedaan antara kita dan mereka (para nabi dan rasul) barangkali pada tingkatan totalitas yang berbeda akan pengorbanan jiwa, raga dan harta.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya masing-masing individu diharuskan untuk melayani. Seorang pedagang melayani konsumen secara total dengan memenuhi semua persyaratan dan keinginan pelanggan. Biasanya, pedagang yang mampu melayani konsumen secara total-lah yang dianggap unggul.

Ketika kita melihat seorang guru TK yang dengan senang hati mendidik siswanya dengan penuh kesabaran, maka kita lihat bahwa itulah pelayanan dia dalam memberikan yang terbaik bagi anak didiknya.

Begitupun seorang pemimpin yang melayani siapapun yang ia pimpin, maka itulah pelayanan yang sebenarnya.

B. BAGAIMANA seharusnya melakukannya ?
Dalam melayani, seseorang harus mengetahui bagaimana ia melakukan pelayanan ? Apakah dia seorang pedagang, seorang guru, seorang tukang sapu ? Apakah sama, seorang tukang sapu melayani dengan seorang guru dalam melayani. Pertama-tama yang harus diketahui adalah CARA dalam melayani. CARA merupakan knowledge seseorang dalam melakukan sesuatu. Misalnya, seorang dosen yang melayani mahasiswanya harus tahu apa saja yang harus dilakukan dan persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam melayani.

Tentunya dalam melayani ini dibutuhkan keahlian dan pengetahuan dalam melayani siapapun yang kita layani. Sebagai seorang pendidik tentunya akan melayani siswa atau mahasiswanya dengan kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang berhubungan dengan tugas yang dibebankan kepada dia.


Senin, 05 Mei 2014

Metropoliningrat : feodalisme di era modern ataukah modernitas yang mengakar budaya ?

Ngayogykarta Metropoliningrat. Halo Jogja, sudah beberapa waktu ini tidak kedengaran geliat teriakan "Jogja Istimewa" di ruang media. Kalaupun Jogja disebut-sebut adalah karena berada di lereng sebuah gunung aktif yang mendunia. Apakah kalian warga Jogja sudah lupa akan identitasmu, ataukah ber-metamorfosa sesuai dengan slogan, "alon-alon waton klakon" ?

Kalaupun masih banyak yang menyebutkan bahwa orang Jogja adalah orang-orang lambat dan tenang, mungkin anda harus pergi ke Jogja sekarang. Di era 80-an, ketika aku masih kecil, ke-adi luhung-an Ngayogyakarta sangat dikagumi.Saat ini, sebagaimana kota-kota lain di seluruh dunia, Jogja mengalami gempuran modernitas menggerus akar budaya masa lalu, mentransformasikannya menjadi sebuah mesin produksi masal penghasil nilai rente yang menggurita.

Namun demikian, ada sesuatu yang unik dengan Yogyakarta sebagai sebuah kota maupun sebagai sebuah Daerah Istimewa dalam bingkai republik. Ia menjadi sebuah refugee akan nilai masa lalu di satu sisi, namun juga menjadi pelarian modern untuk berbelanja dan berkuliner. Kontradiksi ini terbangun sejak geliat pertumbuhan ekonomi paska gempa 2006. Pada tahun 2008, perekonomian Jogja mengalami pertumbuhan pesat. Entah pertumbuhan itu disebabkan oleh investasi dari luar

Kreativitas Jogja : sebuah modal sosial atau sekedar branding ?

Beberapa hari yang lalu aku terjun ke wilayah lereng Merapi di Sleman, Jogjakarta. Memang, tidak dapat dipungkiri, aktivitas Merapi beberapa hari terakhir menyulut kepanikan warga. Namun seiring dengan waktu, warga-pun sudah tenang kembali.

Aku sempatkan berdiskusi dengan teman lama-ku yang banyak berkecimpung dengan dunia pergerakan pemuda dan LSM Kelompok Lingkar Merapi (KLM) yang bertugas melakukan mitigasi bencana di wilayah lereng Merapi.

Dia sempat menanyakan pendapatku sebagai orang yang tinggal di luar DIY mengenai Jogjakarta, khususnya wilayah Sleman. Aku pun menanggapi-nya dengan berseloroh bahwa bagaimana orang risau dengan potensi Sleman, ketika Sleman secara tidak sadar sudah dipasarkan oleh "Mbah Merapi".

Dua hari kemudian aku bertemu teman lama yang bergerak di bidang per-kopi-an. Ia mengatakan bahwa harga kopi robusta Merapi lumayan mahal dibandingan dengan robusta dari daerah lain. Menurut keterangan beberapa orang yang berkompeten dalam perdagangan kopi adalah, kopi Merapi dikemas apik dalam kemasan bertuliskan kopi "Merapi". Sebuah branding gratis alamiah yang mampu menyedot wisatawan manca maupun dalam negeri dengan harga non-commodity. 

Kreativitas di Jogja barangkali bisa disejajarkan dengan kreativitas kawula Bandung maupun Bali yang memiliki skill dan kreativitas. Keberadaan Jogja di blantika nasional bisa disejajarkan dengan Bandung dan Bali. Wilayah-wilayah dengan modal sosial dan brand kreativitas dalam berkreasi. Pertanyaannya adalah, apakah kreativitas tersebut merupakan sebuah modal sosial untuk membangun wilayah atauah sekedar branding yang lama-kelamaan bisa terlarut dalam geliat jaman ?

 



Duduk di dua kedai kopi yang berbeda

Di Jogjakarta, orang bisa memilih kopi berdasarkan tempat tongkrongannya. Selama empat hari aku keliling Jogja (dan sekitarnya) untuk menikmati kopi. Sebagian besar kedai kopi di Jogjakarta memang terletak di wilayah Sleman Selatan, yaitu wilayah Depok dan Mlati, yaitu dua Kecamatan di Sleman yang pesat sekali pertumbuhannya.

Aku nongkrong di dua kedai kopi single-origin yang hanya menjual kopi arabica dan dua kedai kopi yang menjual kopi robusta (yang murah) dan berbagai menu kelas mahasiswa. 

Orang bilang, kedai kopi adalah bisnis yang mengandalkan pada jaringan sosial atau social network. Dari pengalaman nongkrong di kedai kopi kelas mahasiswa aku menemukan sebuah dinamika yang berbeda dengan kedai kopi kelas atas yang menyajikan arabica robusta. Berbeda pula dengan saat aku survei di beberapa kedai kopi khas tukang becak dengan berbagai dinamika masyarakat bawah.

Di kedai kopi kelas mahasiswa dan kelas tukang becak, harga boleh dikatakan murah meriah, sedangkan kedai kopi khas kelas atas lebih menyajikan tempat yang cozy dan elegant lifestyle. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena harga kopi di kedai single origin memang lumayan mahal. Rajikan kopi tubtuk single-origin dibandrol 15 ribu sedangkan harga lainnya lebih dari itu. Kalangan yang nongkrong-pun berbeda, mulai dari mahasiswa kelas atas, manajer proyek, pengusaha, free-lance dsb. Motivasi nongkrongpun berbeda, mulai dari diskusi proyek, diskusi filsafat sampai dengan negosiasi harga jual-beli barang.

Kedai kopi kelas mahasiswa, merupakan tempat kongkow-kongkow dari diskusi-diskusi ringan sampai berat. Perbedaan antara kedai kopi kelas atas dan kelas mahasiswa adalah harga sajian. Karena kualitas diskusi di kedai atas dan mahasiswa tidak terlalu berbeda alias "di awang-awang". Hal ini berbeda dengan diskusi kelas kedai kopi tukang becak di wilayah Malioboro yang sering sekali jadi tempat curhat kehidupan sehari-hari dan diskusi politik kelas kacangan.


Ngayogyakarta Metropoliningrat : Geliat renaissance antara masa lalu, masa kini dan masa depan

Sebuah kota dalam sebuah daerah istimewa sedang menggeliat. Dahulu kala, daerah istimewa ini disebut Ngayogyakarta Hadiningrat, yang terdiri dari beberapa kabupaten dan sebuah kota. Daerah ini didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian hari disebut sebagai Sultan Hamengkubuwono I.

Wilayah ini tidak ada bedanya dengan Daerah Istimewa Surakarta yang pada saat berdiri dianugerahi ke-Istimewaan, namun kemudian dihapuskan karena terjadi gerakan anti-swapraja yang kemudian membawa dampak padapenghapusan keistimewaan karatuan Solo.

Beberapa waktu yang lalu aku pulang ke kampuang halaman sana, nun jauh di mato, ke daerah Sleman. Daerah Sleman ini merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta atau dahulu disebut Ngayogyakarta Hadiningrat. Ketika orang mendengar kata Yogyakarta atau Jogja, pasti akan membayangkan Malioboro, Kraton, Prambanan dan Borobudur. Padahal Prambanan itu separuh berada di kabupaten Sleman dan separuhnya lagi masuk wilayah kabupaten Klaten. Sedangkan Borobudur masuk ke Kaupaten Magelang yang masuk ke daerah Jawa Tengah. Citra Ngayogyakarto tidak bisa lepas dari destinasi wisata di sekitarnya, bahkan sebentar lagi, Ngayogyakarta Hadiningrat akan menjadi Ngayogyakarta Metropoliningrat dengan beberapa satelit-nya.

Apabila Jakarta memiliki Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang, maka Yogyakarta akan memiliki Sleman, Magelang, Gunungkidul, Klaten dan wilayah sekitarnya yang turut serta "terpengaruh" aura pariwisata Yogyakarta.

Jaman dahulu, orang Magelang, Purworejo, Kebumen dan sekitarnya menaruh hormat kepada pusat Ngayogyakarta Hadiningrat karena keberadaan Sang Raja di singgasananya. Aura dampar kencana mepengaruhi wilayah "satelit" nGayogyakarta. Namun nampaknya, aura dampar kencana dewasa ini bergeser menjadi dampar kesejahteraan. Hal ini tidak berlebihan, karena apabila Sri Sultan HB IX mengatakan "Tahta untuk Rakyat" maka penerus sinuhun IX menjadikan slogan, "Tahta untuk Kesejahteraan Rakyat". Jadi tidaklah berlebihan apabila kesejahteraan rakyat dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang berpusat pada budaya.

Karena kebudayaan Jawa yang dilestarikan oleh keraton Mataram Jogja mendatangkan wisatawan. Iklim pendidikan yang dahulu terbentuk berkat pendirian UGM oleh sinuhun IX menjadikan Jogja sebagai salah satu tempat belajar. Bahkan banyak sekali mantan pelajar dan mahasiswa yang tidak kembali ke daerahnya, namun menetap di kota Jogja (baca : dan wilayah sekitarnya). Boleh dikatakan di Jogja muncul keberagaman budaya dan pola fikir dalam suatu wadah.

Perkembangan Ngayogyakarta Hadiningrat dewasa ini mengarah kepada terbentuknya sebuah "wilayah baru" yang memiliki kultur pluralis dan berbeda dengan sebelumnya. Wilayah baru tersebut dinamakan Ngayogyakarta Metropoliningrat atau Jogja wilayah metropolis baru.

Bagaimana tidak ? Dewasa ini, wilayah Gejayan, Jalan Kaliurang, Jalan Magelang dan berbagai wilayah lainnya menjadi sangat padat. Padahal di era 80-an wilayah ini boleh dikatakan sunyi senyap dan tidak banyak yang mendiami. Dewasa ini banyak berdiri toko hp, distro, kafe, dan lain sebagainya. Berdasarkan informasi, bahkan berdiri juga prostitusi terselubung di kos-kos wanita, terselubung salon dan panti spa-pijat.

Sebuah kontradiksi, antara masa lalu yang lekat dengan budaya adiluhung dan masa kini yang penuh dengan dunia gemerlap. Banyak sekali gejala orang asli terdorong ke pinggiran dan pendatang menguasai wilayah tengah. Tidak dapat dipungkiri, kerisauan urang Sunda di Bandung, orang Betawi di Jakarta akan terjadi di Ngayogyakarta Metropoliningrat, sebuah blend kening-rat-an dengan kemetropolitan-an. Bahkan lebih dahsyat dibandingkan dengan wilayah lain.

Sebuah dialektika sedang terjadi, antara masa lalu-masa depan dengan tradisionalitas-modernitas yang barangkali akan menghasilkan masyarakat masa depan yang postmodern. Keingingan DIY adalah seperti propinsi Bali, namun apakah akan terwujud sebuah masyarakat seperti halnya di Bali ataukah lebih baik atau lebih buruk ? Sebuah tantangan bagi pengelola Daerah maupun Kota/Kabupaten. Mari berharap yang terbaik dari Jogjakarta.




Mengapa ngga memohon untuk kaya ?

"Memohonlah kepada Allah untuk diberikan kesabaran", kata temenku ketika aku diberi ujian oleh Allah. Ada pula temenku yang bilang, "memohonlah kepada Allah agar menjadi orang pilihan".

Hehehehehehe

Sori ya, aku ndak akan memohon kepada Tuhan, hal-hal yang membuatku menerima apapun diluar kemampuanku. 

Sering sekali manusia memohon kepada Allah, hal-hal yang diluar kemampuan manusia. Termasuk di dalamnya menjadi orang yang sabar. Tentunya menjadi orang yang sabar itu melalui suatu bentuk rangkaian ujian yang berat sehingga menjadi sabar. Begitupun, di semesta ini tidak ada yang menjadi pilihan tanpa proses penggosokan terlebih dahulu, lihatlah berlian yang harus digosok-gosok sehinga mengkilat.

Kita sering sekali merasa menjadi orang beriman sehingga merasa sudah berhak untuk "menantang" Tuhan untuk memberikan ujian yang berlebihan. Padahal bagi Tuhan, memberikan ujian yang bertubi-tubi sebenarnya sudah diukur kadarnya.

Bagaimana memohon untuk diberi keleluasaan ? Seperti misalnya, memohon untuk kaya, memohon dilimpahi ilmu dan sebagainya. Bukankah kaya dan ilmu adalah termasuk asma'ul husnaa ? Bukankah al-ghaniyyu dan al-alim adalah asma-Nya dimana kita diperintahkan berdoa melalui asma-Nya ?

Sering sekali kita itu sombong, sudah merasa hebat dan sesumbar sudah lupa sama dunia. Well, bagaimanakah bisa dikatakan lupa sama dunia apabila menyebut-menyebut terus ?

Be smart. Bukankah Allah sudah memberikan keleluasaan untuk manusia buat hidup dan menghidupi ? Janganlah kita meminta yang berat-berat kepada Allah. Mintalah yang ringan-ringan saja, karena meminta yang ringan adalah tanda seorang hamba yang merasa tidak memiliki kuasa atas apa-apa. Itulah hamba.

Senin, 28 April 2014

Ratu Adil : antara konsepsi, realitas dan harapan ?

Di dunia ini, banyak istilah untuk menunjuk seseorang yang diharapkan muncul pada suatu waktu ketika terjadi chaos. 

Orang Indonesia yang masih memegang teguh tradisi akan mengatakan bahwa suatu saat akan muncul yang namanya Ratu Adil. Dalam tradisi Jawa, ratu adil ini disebut Ratu Adil Heru Chokro. 

Begitu pula dalam tradisi lain, ada suatu ramalan dan janji bahwasanya akan muncul tokoh yang akan menyelamatkan bumi ini.

Saya menilai bahwa ratu adil dalam berbagai bahasa tersebut menjadi tiga kategori :
  • Suatu konsepsi yang dicangkokkan secara turun temurun,
  • Sehingga menjadi suatu harapan dan doa,
  • Yang kemudian terwujud menjadi suatu realitas
Apabila ditanyakan pada setiap manusia di bumi ini, apabila memungkinkan melakukan hal itu, paling tidak hampir seluruh manusia di bumi ini akan memilih suatu kondisi stabil, makmur, sentaosa dan berbagai hal positif lain. Sedangkan sebagian kecil saja yang menginginkan perang dan kekacuauan karena penghidupannya berasal dari perang dan kekacauan. Konsepsi ini diinginkan dan dicangkokkan ke dalam alam bawah sadar melalui repetisi dan pengulangan sehingga anak turun manusia memiliki suatu harapan dan doa, sehingga kelak terjadi kerusuhan, peperangan dan perpecahan. 

Ketika Pangeran Diponegoro memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda, rakyat di Jawa menganggap bahwa Pangeran Diponegoro adalah sang ratu adil. Meski sebagian sejarahwan akan mengatakan bahwa pemberontakan sang pangeran dikarenakan karena penggusuran tanah milik beliau, namun saya lebih sependapat dari sebagian sejarahwan yang mengatakan peristiwa penggusuran adalah pemantik. Pada saat itu, keadaan di dalam kraton diwarnai dari hegemoni Hindia Belanda di semua bidang di keraton, mulai dari sisi kekuasaan adminsitratif, sampai dengan pengaruh hedonisme Belanda dalam kehidupan sehari-hari di dalam kraton. Sementara di luar benteng kraton, masyarakat sangat menderita akibat Belanda. Masyarakat pada waktu itu menganggap Pangeran Diponegoro adalah Ratu Adil yang dijanjikan. Apakah tokoh-tokoh yang muncul saat ini ada yang dianggap Ratu Adil ? Saya lebih baik tidak mempercayai itu saat ini.

Saya tidak berusaha untuk mengatakan bahwa Ratu Adil hanyalah mitos dan legenda, namun sementara saya sebagai orang awam tidak bisa melahirkan Ratu Adil, maka bagi saya, bukankan lebih baik apabila kita bersama-sama menyelamatkan diri, keluarga dan lingkungan kita dari api neraka dan dari semua perbuatan buruk dengan cara yang baik. Saya yakin, Ratu Adil itu akan muncul apabila banyak orang yang berbuat kebijakan secara mikro di dalam lingkungannya, meski para politikus, pejabat dan para sengkuni merajalela dimana-mana...Yakinlah, bahwa Tuhan itu tidak tidur.....Gusti Allah iku ora sare.....


Membaca : Memahami Realitas "di luar sana"

Iqra bismi rabbikalladzikhalaq, "bacalah dengan asma Tuhan yang menciptakan".

Apabila perintah tersebut hanya berbunyi, "Iqra' bismi" atau bacalah saja tanpa menggunakan "dengan asma Tuhan yang menciptakan".

Misalnya berbunyi, "bacalah dengan nafsu-mu" apakah akan berbeda dalam melihat realitas ?

Sebagian besar dari pembaca barangkali ada yang mengangguk-angguk mengerti jawabannya, namun sebagian pasti akan mengernyitkan dahi dan bergumam, "ke arah mana pertanyaan orang sinting ini ?". Bagaimana mungkin seorang atheis bisa membaca realitas dengan asma Tuhan, padahal seorang ateis tidak percaya Tuhan ? Apakah realitas yang dilihat seorang yang beriman akan sama dengan realitas yang dilihat oleh orang ateis ?

Sebuah dialog antara orang beriman dan ateis tentunya sering terjadi di dunia maya di era social media ini. Pertanyaan yang sering muncul biasanya, "siapakah yang menciptakan semesta ini ?". Pernah perdebatan terjadi antara seorang ilmuwan Fisika yang meyakini adanya Tuhan sebagai Pencipta semesta dan seorang ilmuwan Fisika yang tidak meyakini Tuhan sebagai Pencipta semesta. Perdebatan tersebut sebagaimana perdebatan serupa sebelumnya berakhir tanpa kesimpulan dan masing-masing kembali ke rumah "paradigma" masing-masing. 

Padahal kalau kita amati, si Fisikawan ber-Tuha maupun yang tidak ber-Tuhan tidak bisa membuktikan ada tidaknya Tuhan hanya dengan ilmu Fisika. Mengapa ? Karena ilmu Fisika tersendiri menggunakan epistimologi yang berbeda dalam melihat alam raya sebagai semesta. Bagaimana epistimologi yang berbeda dalam melihat "dunia luar sana" dapat menghasilkan hasil analisis yang sama ?

Perdebatan semacam ini sebenarnya sudah muncul jaman dahulu lewat perbedaan "pandangan" al-Ghazali dan ibnu Rusyd. al-Ghazali menyebut "kerancuan Filsafat" atau Tahafut al-Falasifah sedangkan ibnu Rusyd menyebutkan tentang Tahafut at-Tahafut atau "kerancuan dalam kerancuan". Banyak para pengamat jaman sekarang yang langsung memvonis "sesat" dan kafir pada ibnu Rusyd. Sebaliknya, banyak pula yang mengatakan al-Ghazali itu kolot dan kuno, terutama dari kalangan orang modern. Dan tidak sedikit pula "orang-orang yang mendeklarasikan hidup di atas sunnah" mengatakan bahwa al-Ghazali itu tidak memakai landasan al-hadits dan as-sunnah. Tidak sedikit pula yang akan memvonis ibnu 'Arabi sesat dan musyrik serta tidak berlandaskan al-Qur'an dan as-sunnah. Padahal kalangan yang berkata demikian apabila ditanyain mengenai sanad dan matan juga tidak akan mampu karena belajar dari orang yang tidak tahu pula.

Kembali kepada judul, "Membaca : Memahai Realitas di luar sana", lalu apabila demikian bagaimanakah kita akan memahami "bagaimana memahami realitas" di luar sana ?

Melihat realitas di luar sana, atau iqra' tentunya membutuhkan alat epistimologi (ilmu), baik itu alat epistimologi (ilmu) hushuli atau ilmu melalui perantaraan konsep atau ilmu kehadiran (hudhuur). Selanjutnya, apabila itu ilmu hushuul maka akan terjadi bounded reality dan conceptual boundary. Misalnya, seorang sosiolog akan melihat realitas yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan "kacamata" seorang sosiolog, begitupun seorang ekonom.

Untuk yang kedua, conceptual boundary terjadi karena ilmu hushuuli dapat dilihat melalui perantaraan konsep. Dalam arti kata, keahlian keilmuwan untuk melihat realitas diperlukan apabila aspek yang dilihat itu diperlukan. Misalnya pada kasus pelecehan dan sodomi di sebuah sekolah internasional bisa dilihat dari berbagai perspektif keilmuwan. Televisi yang ingin mendatangkan narasumber tentunya memerlukan mapping akan sudut pandang mana yang diperlukan. Misalnya, dari sudut pandang sosial, psikologis, hukum, psikologi anak, kriminalitas dsb.

Ilmu hudhuur atau ilmu dengan kehadiran dimana sang pengamat dan yang diamati berada pada ruang-waktu yang sama tanpa batas antara si pengamat dan yang diamati. Ilmu hudhuur dalam tasawuf adalah ilmu yang diperoleh dengan kehadiran. Berikut ini cuplikan dari sebuah blog yang menyajikan buah pandangan Mulyadhi Kartanegara :

Ilmu hushuli adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari objek yang ada di luar kita secara objektif. Misalnya pengetahuan tentang meja dan gelas yang ada di atasnya. Menurut ahli ilmu hudhuri, sebuah benda yang ada di hadapan kita, selalu memiliki dua macam objek. Objek subjektif yang ada atau hadir dalam diri (pikiran) kita, dan objek objektif yang ada di luar diri kita. Objek yang di luar diri kita disebut bentuk (shurah), sedangkan objek yang ada di dalam diri kita disebut makna. Ilmu hushuli dimungkinkan tapi tanpa jaminan kebenaran. Ia dicapai oleh manusia berdasarkan pada "keserupaan" atau "korespondensi" antara bentuk dan makna. Kalau korespondensi ini berkorelasi positif, maka pengetahaun dikatakan benar, kalau negatif maka dikatakan salah atau keliru.
Berbeda dengan midus ilmu hushuli, ilmu hudhuri pada umumnya berhubungan dengan makna atau objek subjektif yang sudah "dihadirkan" dalam diri kita. Ia bukan tentang objek objektif yang berada di luar diri kita, sehingga objek ini disebut absen atau tidak hadir dalam diri kita dan tidak bisa kenal secara langsung atau intuitif. Sebaliknya ilmu hudhuri selalu menangkap objeknya secara langsung, karena ia telah "hadir" dalam diri kita. Dan justru karena ia telah hadir dalam diri kita, maka kita mengetahui objek tersebut seperti kita mengetahui diri kita sendiri. Dari sinilah muncul konsep self-knowledge, pengetahuan tentang diri sendiri. Dalam pengetahun diri, karena subjek dan objek adalah sama, maka jurang yang biasanya menganga antara subjek dan objekpun telah terjembatani. Maka terjadilah identitas (kesamaan) antara subjek dan objek. Pengetahuan diri sedemikian langsungnya, karena tanpa simbol apapun, sehingga kebenarannya pasti terjamin, karena di sini knowing (mengetahui) adalah sama dengan ada (being), ringkasnya "knowing is being," di mana pengetahuan telah menjadi wujud itu sendiri.
Namun, ilmu hudhuuri ini hanya bisa didapat melalui pembersihan (tazkiyyatul) nafs.

Ratu Adil : The Emergence of Grassroot Movement (3)

Tulisan-tulisanku mengenai gerakan akar-rumput mungkin tidaklah sepanas rekan-rekan yang memandang dari sudut pandang gerakan sosial. Apabila artikulasi gerakan akar rumput menggunakan terminologi mereka barangkali grassroot movement serupa dengan "melawan kapitalisme global".

Perjuangan akar rumput ini diperlukan untuk menggerakkan semua elemen di pedesaan sebagai soko guru revolusi ekonomi pembangunan bangsa.Gerakan "one-village-one product" dan inisiatif Indikasi Geografis seharusnya diintegrasikan dengan sistem lokalitas yang telah ada. Perlu dilakukan integrasi yang memperhatikan ke-khas-an setiap daerah, bukan hanya dalam hal produk atau komoditas unggulan namun juga interaksi sosial yang ada di dalamnya. 

Keberhasilan sebuah bangsa sangat dipengaruhi bagaimana mengenal diri dan lingkungannya. Bangsa Jepang berhasil dalam membangun ekonomi paska Perang Dunia karena berhasil mengadopsi paradigma ekonomi yang ditawarkan oleh Amerika Serikat, dimodifikasi sedmeikian rupa sehingga justru Amerika Serikat belajar dari Jepang. 

Kesalahan kita adalah, selama ini kita mengadopsi paradigma dari negara negara maju, namun tidak berhasil melakukan transformasi. Hal ini menjadikan setiap upaya pembangunan bersifat a-historis sehingga keterkaitan antara paradigma pembangunan sering sekali tidak fit dengan karakter inherent bangsa Indonesia. Alhasil, setiap upaya dalam pembangunan selalu menunjuk hidung bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bebal, bodoh dan goblok.




Kemampuan Membaca Manusia

Dalam al-Qur'an sebuah ayat berbunyi, "iqra bismi rabbikalladzi khalaq". Bacalah dengan asma Tuhan-mu yang menciptakan. Sedangkan beberapa artikel menyebutkan tentang tafsir sebuah ayat yang berbunyi, "nun, wa qolami wa maa yasyturuun" atau terjemahan bebasnya, "Nun, dan pena dan apa yang ia tulis". Beberapa literatur tasawuf-falsafi banyak yang menafsirkan bahwa pena yang disebut adalah Pena Illahi yang menuliskan segala bentuk realitas kehidupan ini.Dan manusialah yang diberi kapasitas untuk membaca ayat-ayat kehidupan.

Ya, manusialah yang diberi kapasitas untuk itu. Namun, bagaimana manusia membacanya tentunya ada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Karena alat epistimologi untuk membaca ayat-ayat kehidupan perlu dibersihkan dan dikalibrasi setiap waktu.

Mengapa demikian ?

Dalam banyak sekali artikel mengenai "human cognition" dikatakan bawah manusia memiliki keterbatasan dalam melihat realitas atau disebut juga "bounded reality". Nah, keterbatasan manusia inilah yang kemudian akan melihat ayat-ayat kehidupan ini berbeda-beda. 

Sebagai ilustrasi, kita bertanya pada tiga orang yang berbeda mengenai buah apel jatuh dari pohon. Si A bisa melihat itu sebagai suatu hal yang biasa sebagai kehendak Tuhan. Si B bisa melihat bahwa apel jatuh dari pohon pasti ada gaya yang menarik ke bawah. Sedangkan si C barangkali tidak terlalu peduli dengan hal itu.

Jawaban si A sebagai seorang insaan yang sangat rendah hati terhadap Tuhan, maka melihat bahwasanya segala sesuatu di muka bumi ini sudah diatur dengan hukum-hukum-Nya. Si B sebagai seorang scientist senantiasa jagad raya ini untuk dieksplorasi sehingga ditemukan Kebenaran Hakiki di atas semua kejaidan-kejadian. Sedangkan si C adalah sebagain besar dari kita yang tidak terlampau mempersoalkan apa yang terjadi.

Manusia bisa melihat kejadian yang sama di luar dirinya namun dengan interpretasi yang berbeda-beda satu sama lain. Sehingga "kemampuan membaca" ayat-ayat-pun akan berbeda satu sama lain pada level yang berbeda pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila interaksi antar sudut pandang yang berbeda-beda ini apabila dikolaborasikan secara tepat akan mendatangkan sebuah kebersamaan. Namun, bagaimanakah keberagaman dalam sudut pandang itu bisa disatukan ? Karena bagaimana memandang sebuah realitas akan berpengaruh pada apa yang harus diperbuat dan bagaimana menyatukan langkah untuk mencapai suatu harapan ?





Senin, 14 April 2014

Cinta dalam Karya

Konon katanya Tuhan mencipta jagad semesta ini dengan cinta. Cinta yang serba-melingkupi, yang mengaitkan semua level realitas ciptaan-Nya. Tuhan-pun memberikan potensi cinta pada setiap insaan ciptaan-Nya. Pernahkah kita mendengar kisah para penyair, pematung dan seniman lainnya menghasilkan karya yang monumental ? Pernahkah kita memperhatikan betapa beberapa syair musik dan komposisinya tidak hilang ditelan jaman, sedangkan beberapa lainnya hanya bertahan sementara ? Pernahkah kita mendengar kisah betapa seorang chef, dengan cintanya menghasilkan masakan yang lezat hanya dengan membayangkan keindahan racikannya ?

Ya, cinta dalam karya-karya agung menggema dalam keabadian, sedangkan sebagian habis ditelan jaman.

Dalam konsep modern, disebutkan tentang passion atau meminjam istilah Arab, disebut sebagai ghirrah atau terjemahan bebasnya sebagai ghairah. Sebuah konsep yang mengutarakan akan pentingnya mencintai apa yang kita kerjakan sehingga hasil yang didapat akan maksimal.

Dalam konsep sufistik ada istilah hubb atau cinta dimana cinta dan kreasi tidaklah dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Tuhan mencipta segala hal dalam jagad semesta ini dengan Rahman dan Rahiim-Nya. Tidak ada aktivitas bagi orang yang mengaku muslim yang tidak dilakukan dengan Bismillahirrahmannirrahimm, dengan asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kalimah inilah yang mengaitkan antara cinta pada dimensi materiil dan spiritual.

Tuhan mencipta segala sesuatu dengan cinta, termasuk di dalamnya kemampuan mencipta manusia dalam mencipta yang merupakan kemampuan yang diberikan oleh al-Khaliq kepada makhluq-Nya. Bismillahirrahmannirrahiim merupakan kata yang mengaitkan passion dalam berkarya dan hubb Allah dalam setiap langkah menghasilkan karya.

Cintailah Tuhan-mu, Cintailah hidup-mu, Cintailah semua gerak langkah dalam hidupmu, Cintailah semua karyamu

Sabtu, 12 April 2014

Mengenal Diri

Man 'arafa nafsahu faqodl 'arafa Rabbahu

Kenalilah diri-mu maka (engkau) akan mengenal Tuhan-mu.

Bagaimanakah diri apabila tidak mengenal Tuhan, lalu bagaimanakah mengenal Tuhan ?

Tuhan telah menyatakan bahwa terdapat bukti-bukti kekuasaan-Nya dalam bentuk ciptaan dalam semesta dan dalam diri mereka sendiri.

Dengan kata lain, kita tidak bisa mengenal diri tanpa mengenal Tuhan, dan untuk mengenal Tuhan tidak ada cara lain selain melihat ciptaan dalam diri sendiri maupun dalam semesta.

Tidak ada diri-ku (aku) apabila tidak ada diri-mu (engkau) karena hanya dengan mengenal engkau-lah maka diri-ku ada. Ada semacam paradoks disini karena untuk mengenal diri harus mengenal ciptaan Allah yang lain ?

Cogito ergo sum tidalah sepenuhnya salah. Banyak sekali spiritualis yang mengatakan bahwa kalimat Descartes menunjukkan kesombongan dan ke-aku-an. Namun sebenarnya berfikir itu sendiri tidak mungkin terjadi apabila tidak ada obyek yang difikirkan oleh pemikir sebagai subyek.

Afalaa ta'qiluun, "apakah mereka tidak berfikir ?". Apakah mereka tidak berfikir mengenai apa yang ada dalam semua fenomena dan kejadian ? Dari sinilah Allah menantang seorang insaan untuk berfikir mengenai orang-orang yang tidak berfikir sebagai cerminan. 

Perbedaan antara kalimat umum Descartes adalah identitas "aku" dalam posisinya dalam kehidupan dengan afalaa ta'qiluun adalah afalaa ta'qiluun meletakkan manusia dalam posisi insaan yang ber-Tuhan sedangkan Descartes merupakan kalimat umum yang menyatakan "aku" itu ada apabila seorang manusia berfikir. Berfikir mengenai diri, mengenai lingkungan alam berikut mengenai lingkungan manusia.

Dalam literatur tasawuf, ada istilah Higher Self dimana Higher Self merupakan suatu fakultas kesadaran tertinggi yang merupakan cerminan dari Tuhan. Higher Self ini hanya terdapat dalam diri seorang manusia dan tidak terdapat pada makhluq ciptaan lain. Disinilah Allah berfirman yang maknanya adalah "gunung-gunung tidak mampu menampung Asma-Ku, tapi hamba-Ku yang beriman mampu untuk menampung".  Dalam level yang lebih rendah lagi ada Universal Self atau Diri Semesta. Dalam beberapa tradisi timur ada yang mengatakan, "Tuhan adalah semesta" atau Self dalam level semesta. Higher Self dan Universal Self ini dalam konsep Martabat Tujuh atau the seven level of self terdapat level-level : Ahadiyah, Wahda, Wahidiyah, Arwah, Ajsam, Mitsal, Ajsaam dan Insan Kamiil. Ajaran Martabat Tujuh mengajarkan bahwa Allah bertajali dalam ketujuh dimensi. Pada dimensi paling bawah adalah Insaan Kamiil. Insan Kamiil ini adalah tahapan manusia sempurna atau Higher Self. 

Higher Self muncul dalam diri manusia tercerahkan yang telah melalui dialektika kehidupan. Ya, inilah yang disebutkan oleh Hegel sebagai dialektika di dalam diri manusia. Secara ringkas, membaca pendapat Hegel sama dengan mengintegrasikan tiga filsuf kesohor sebelumnya, yaitu Kant, Fichte dan Schelling.

Pendapat utama Fichte terletak pada pemahaman atas diri yang disebut "Aku" atau "Ego". Dalam Islam, diri ini disebut sebagai nafs.  Menurut Fichte, “Aku” ini merupakan unsur terpenting dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan perenungan. Hal ini sama dengan pendapat Descartes yang mengatakan Cogito ergo sum. Namun demikian, Fichte berpendapat bahwa  Aku tidaklah sendirian. Aku ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku.

Dalam konteks ini, sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga, dengan pergumulan Aku yang lain, Aku menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Bahasa sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi tidak bebas.
Dalam konteks dialektika, pendapat Fichte dapat dirumuskan menjadi

Aku ini sadar (tesis) - Ada Aku lain (antitesis) – Aku dan Aku lain saling membatasi (sintesis)

Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri "roh") ataupun objektif (berciri "materi"). Aku mengatasi keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat dipandang sebagai Aku.

Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian:

Aku yang lain atau alam (tesis) – Aku individu atau manusia (antitesis) – Aku yang bukan materi dan roh (sintesis).

Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu merumuskan sesuatu yang "sederhana" dibandingkan dua pendapat filsuf itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya atas masalah ini menjadi:
 

Idea (tesis) - Alam (antitesis) - Roh (sintesis)












 


Senin, 31 Maret 2014

Matematika Terapan dan Terapan Kehidupan



Pernahkan kita mendengar istilah matematika terapan ? Khususnya dalam kajian mengenai Operations Research ? Mungkin aku adalah salah satu dari ratusan juta manusia yang berkesempatan untuk mempelajari Operations Research dalam aplikasi industri. Namun apabila aku berfikir dalam ranah yang lebih tinggi (higher order thinking), Operations Research cukup membantuku untuk tetap berada pada higher order thinking dan lower order thinking (operational) sekaligus. Tidak mungkin sebuah cita-cita tanpa dibarengi dengan pendefinisian goals dan objective

Salah satu kajian dalam Operation Research adalah Goal Programming. Goal Programming merupakan metode untuk memodelkan secara matematis tujuan yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan kendala-kendala sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam istilah aslinya, tujuan disebut sebagai Objective sedangkan kendala disebut sebagai Subject to. Metode ini sering digunakan pada aplikasi ekonomi dan industri dimana pemaksimalan tujuan (baik meminimalkan maupun memaksimalkan) harus mempertimbangkan dan mendefinisikan sumber daya yang ada, sehingga diperoleh kombinasi optimal sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

Ada sebuah pertanyaan yang bunyinya, “do you wanna have a meaningful life, or do you wanna have a successful life ?”. Seakan kita digiring pada pandangan bahwa untuk memperoleh makna dalam hidup ini, maka harus mengorbankan kesuksesan di dunia. Atau, untuk mengejar kesuksesan di dunia ini, kita harus mengorbankan hidup yang penuh makna dan warna. Inilah yang sering menjadikan seorang idealis hidupnya mengenaskan, sedangkan seorang realis susah untuk mencari makna dan hikmah. Namun sebenarnya titik optimal antara keduanya adalah mampu mencari makna hidup sekaligus mendefinisikan goal dan objective secara operasional. 

Barusan aku mengalami kejadian, dimana sebuah cita-cita kandas di sebelum jalan karena terdapat kendala-kendala yang tidak dapat dirubah. And then, aku berfikir, apakah aku ini terlalu tinggi dalam bercita-cita ? Soekarno pernah berkata, “gantungkanlah cita-cita-mu setinggi langit”. Kapankah sebuah cita-cita hanyalah sebuah cita-cita tanpa realitas dan kapankah sebuah cita-cita bisa menjadi sebuah realitas ? Hal inilah tentu memerlukan keterstrukturan operational untuk mewujudkannya ? Apakah kendala tersebut dapat dikembangkan ? Ataukah dengan sumber daya yang ada dapat memperoleh hasil yang maksimal ?

Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun memiliki tujuan yang ingin dicapai, apakah itu ingin mendirikan usaha, ingin melanjutkan perkuliahan, dan lain sebagainya. Meski goal programming hanya berguna pada kasus dimana sumber daya dapat dikuantifikasi menjadi fungsi biaya dan fungsi produksi, namun filosofi dasarnya dapat digunakan dalam melihat bagaimana kita bisa mencapai tujuan dan bagaimana kita mendefinisikan kendala sumber daya yang dimiliki.

Maksimalkan : Z = ………
Kendala :
·         Keuangan : …….
·         Waktu : …………..
·         Sumber daya material : …….
·         Syarat non-negatif : (karena sumber daya tidak boleh 0)

Untuk dapat memaknai kehidupan, maka harus mengejar tujuan-tujuan yang bermakna. Untuk itu diperlukan higher order thinking mengenai the purpose of life. The purpose of life apabila diterjemahkan dalam goals kehidupan apa sajakah ? Sudah tentu masing-masing individu memaknai hidup berbeda-beda. Pun, masing-masing individu yang memaknai kehidupan dengan cara yang sama-pun akan berbeda dalam merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.

Misalnya, purpose of life adalah menjadi insan yang berguna bagi masyarakat. Dus, dengan cara apakah mencapai purpose itu ? Misal, dengan mendirikan tempat ibadah, dengan menyantuni anak yatim, atau dengan menebarkan kebajikan-kebajikan. Apakah sumber daya yang kita miliki itu sesuai untuk tujuan itu ? Ketika purpose of life sudah ditentukan, maka dengan apakah kita akan mencapai itu ?



Bagi saya, tetap saja untuk memperoleh purposeful life, harus melihat sumber daya yang ada. Untuk mencapai purposeful life, maka harus ada Goals dalam kehidupan ini. Dan untuk mencapai Goals diperlukan objective dengan kuantifikasi kendala yang ada, sehingga bisa memperluas kendala (melebarkan rentang batasan kendala dengan ekstensifikasi) maupun dengan mengintensifkan usaha di dalam batasan kendala yang ada.