Man 'arafa nafsahu faqodl 'arafa Rabbahu
Kenalilah diri-mu maka (engkau) akan mengenal Tuhan-mu.
Bagaimanakah diri apabila tidak mengenal Tuhan, lalu bagaimanakah mengenal Tuhan ?
Tuhan telah menyatakan bahwa terdapat bukti-bukti kekuasaan-Nya dalam bentuk ciptaan dalam semesta dan dalam diri mereka sendiri.
Dengan kata lain, kita tidak bisa mengenal diri tanpa mengenal Tuhan, dan untuk mengenal Tuhan tidak ada cara lain selain melihat ciptaan dalam diri sendiri maupun dalam semesta.
Tidak ada diri-ku (aku) apabila tidak ada diri-mu (engkau) karena hanya dengan mengenal engkau-lah maka diri-ku ada. Ada semacam paradoks disini karena untuk mengenal diri harus mengenal ciptaan Allah yang lain ?
Cogito ergo sum tidalah sepenuhnya salah. Banyak sekali spiritualis yang mengatakan bahwa kalimat Descartes menunjukkan kesombongan dan ke-aku-an. Namun sebenarnya berfikir itu sendiri tidak mungkin terjadi apabila tidak ada obyek yang difikirkan oleh pemikir sebagai subyek.
Afalaa ta'qiluun, "apakah mereka tidak berfikir ?". Apakah mereka tidak berfikir mengenai apa yang ada dalam semua fenomena dan kejadian ? Dari sinilah Allah menantang seorang insaan untuk berfikir mengenai orang-orang yang tidak berfikir sebagai cerminan.
Perbedaan antara kalimat umum Descartes adalah identitas "aku" dalam posisinya dalam kehidupan dengan afalaa ta'qiluun adalah afalaa ta'qiluun meletakkan manusia dalam posisi insaan yang ber-Tuhan sedangkan Descartes merupakan kalimat umum yang menyatakan "aku" itu ada apabila seorang manusia berfikir. Berfikir mengenai diri, mengenai lingkungan alam berikut mengenai lingkungan manusia.
Dalam literatur tasawuf, ada istilah Higher Self dimana Higher Self merupakan suatu fakultas kesadaran tertinggi yang merupakan cerminan dari Tuhan. Higher Self ini hanya terdapat dalam diri seorang manusia dan tidak terdapat pada makhluq ciptaan lain. Disinilah Allah berfirman yang maknanya adalah "gunung-gunung tidak mampu menampung Asma-Ku, tapi hamba-Ku yang beriman mampu untuk menampung". Dalam level yang lebih rendah lagi ada Universal Self atau Diri Semesta. Dalam beberapa tradisi timur ada yang mengatakan, "Tuhan adalah semesta" atau Self dalam level semesta. Higher Self dan Universal Self ini dalam konsep Martabat Tujuh atau the seven level of self terdapat level-level : Ahadiyah, Wahda, Wahidiyah, Arwah, Ajsam, Mitsal, Ajsaam dan Insan Kamiil. Ajaran Martabat Tujuh mengajarkan bahwa Allah bertajali dalam ketujuh dimensi. Pada dimensi paling bawah adalah Insaan Kamiil. Insan Kamiil ini adalah tahapan manusia sempurna atau Higher Self.
Higher Self muncul dalam diri manusia tercerahkan yang telah melalui dialektika kehidupan. Ya, inilah yang disebutkan oleh Hegel sebagai dialektika di dalam diri manusia. Secara ringkas, membaca pendapat Hegel sama dengan
mengintegrasikan tiga filsuf kesohor sebelumnya, yaitu Kant, Fichte dan Schelling.
Pendapat
utama Fichte terletak pada pemahaman atas diri yang disebut "Aku"
atau "Ego". Dalam Islam, diri ini disebut sebagai nafs. Menurut Fichte, “Aku” ini merupakan unsur
terpenting dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat
melakukan perenungan. Hal ini sama dengan pendapat Descartes yang mengatakan Cogito ergo sum. Namun demikian, Fichte berpendapat bahwa “Aku” tidaklah sendirian. “Aku”
ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar “Aku”.
Dalam
konteks ini, sesuatu yang di luar “Aku” dapat berupa “Aku” yang lain ataupun alam. Sehingga, dengan pergumulan “Aku”
yang lain, “Aku” menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Bahasa sederhananya,
ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak
sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau
kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi
tidak bebas.
Dalam
konteks dialektika, pendapat Fichte dapat dirumuskan menjadi
“Aku” ini sadar
(tesis) - Ada “Aku lain” (antitesis) – “Aku” dan “Aku” lain saling membatasi (sintesis)
Sedangkan
pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan
identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam.
Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri
"roh") ataupun objektif (berciri "materi"). Aku mengatasi
keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara
sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan ciri
yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang
lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang
pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat
dipandang sebagai Aku.
Dalam
model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian:
“Aku yang lain” atau alam
(tesis) – “Aku individu” atau manusia (antitesis) – “Aku yang bukan materi” dan “roh” (sintesis).
Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu
merumuskan sesuatu yang "sederhana" dibandingkan dua pendapat filsuf
itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan
masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang
lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa
pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya
atas masalah ini menjadi:
Idea (tesis) - Alam (antitesis)
- Roh (sintesis)