Pada awalnya, saya ragu untuk menentukan pilihan calon presiden untuk tahun 2014 ini. Waktu itu saya berfikir, capres mana yang dapat merepresentasikan idealisme saya sebagai pendidik sekaligus sebagai seorang warga negara Indonesia dalam membangun Indonesia.
Akhirnya saya terketuk hati dan pikiran saya untuk membuka kembali sejarah para tokoh yang mendukung para capres. Ada Amien Rais yang dulu sangat saya kagumi dan harapkan pada saat saya menjadi aktivis tahun 1998. Beliau merapat ke Prabowo-Hatta dan membela pasangan tersebut. Namun kemudian saya tidak melihat tokohnya saja, namun melihat motivasi saat ini mengapa mendukung Prabowo-Hatta. Kemudian saya melihat lagi Pak Machfud sebagai tokoh yang saya kagumi sebagai seorang yang reformis dan profesional. Namun kemudian sayapun bertanya, "Apakah motivasi beliau dalam memilih Prabowo-Hatta ?". Akupun bertanya, "Apakah motivasi Pak Machfud dalam memilih pasangan didasari oleh idealisme beliau atau oportunisme ?". Sayapun kemudian bertanya, "Apakah sama, visi-misi mu sama dengan visi-misi Pak Machfud dalam memilih capres ?".
Hati manusia tidak bisa ditebak. Dalam lautan dapat ditebak, dalam hati siapa tahu. Siapa bisa membaca maksud dalam hati pak Machfud dalam memilih pilpres, apakah sebagai ahli hukum, sebagai pribadi ataukah sebagai apa. Saya kemudian merubah kriteria saya dalam menentukan capres berdasarkan tokoh yang bisa dipegang visi-misi-nya. Terus terang saya kagum dengan karakter dan visi-misi Anies Baswedan.Nama itu tidak asing lagi di telinga saya. Beliau merupakan tokoh mahasiswa UGM yang melegenda pada saat masuk saya masuk sebagai mahasiswa di tahun 1994.
Mas Anies saya pandang bukanlah tipikal aktivitas tukang demo yang tidak memiliki konsep dan hanya berlindung di bawah ketiak ke-aktivisan-nya dalam hal prestasi dan kecemerlangan studi. Beliau adalah idola saya di saat saya berkiprah di Keluarga Mahasiswa UGM pada era 1995-1997. Waktu itu beliau sudah "pensiun" sebagai aktivis struktural intra-kampus, namun gaya dan pola-nya masih terkenal di kalangan aktivis waktu itu.
Saat ini, saya menjadi pendidik di sebuah Perguruan Tinggi. Sempat saya merasa bahwa dunia kampus adalah dunia teoritis dan tidak membumi, lalu saya berfikir, "untuk apa menjadi pendidik di perguruan tinggi namun tidak bisa berguna bagi bangsa ini". Memang, dunia perguruan tinggi saat ini jauh lebih baik di era 90-an dulu. Jaman dulu, sebuah kelas mata kuliah sering sekali tidak sampai 14 pertemuan. Kadang hanya separuhnya alias dalam satu semester hanya diisi tujuh minggi, yang lainnya kosong. Namun saat ini, Perguruan Tinggi sudah memperbaiki kinerja-nya karena Kementrian Pendidikan memberlakukan sertifikasi BAN, sertifikasi dosen yang kemudian diimplementasikan oleh insitutsi secara menyeluruh. Namun demikian, saya sebagai pendidik kemudian merasa bahwa saya berkiprah hanya untuk memenuhi KUM, hanya untuk kenaikan jabatan agar mendapatkan sertifikasi, berusaha mendapatkan gelar professor. Intinya, profesi dosen menjadi tanpa ruuh dan cenderung terstandarisasi ala industri. Ya, perguruan tinggi telah menjelma menjadi sebuah industri yang dikontrol ketat oleh kinerja, dimana kinerja itu sering sekali tidak sesuai dengan output yang diharapkan karena langsung di benchmark dengan kondisi pendidikan tinggi di luar negeri yang situasi dan kondisinya berbeda.
Dalam kondisi seperti ini, saya akhirnya merenung dan bertanya, "Buat apa menjadi pendidik, namun merasa terkerdilkan darena menjadi pragmatis sebagaimana profesi karyawan an sich". Bukan berarti saya mengkerdilkan profesi karyawan, namun idealisme-ku sebagai pendidik awalnya adalah mencerdaskan bangsa, membentuk profesionalisme melalui pendidikan tinggi dan yang jelas memiliki visi-misi idealisme. Dus, seorang dosen seharusnya memiliki sebuah visi besar yang diwujudkan ke dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan hanya mengumpulkan KUM.
Anies Baswedan menginspirasi akan sebuah perubahan melalui pendidikan. Seorang pendidik yang memiliki dedikasi tinggi. Tidak mengherankan karena beliau dididik dalam lingkungan pendidik dimana ibundanya adalah seorang Profesor di Universitas Negeri Yogyakarta dan ayahanda beliau adalah mantan Rektor Universitas Islam Indonesia. Barangkali fakta inilah yang menjadikan beliau sebagai aktivis yang peduli pendidikan. Kemudian menjadi researcher yang peka dinamika perpolitikan untuk melakukan transformasi pendidikan melalui gerak nyata. Beliau telah menginspirasi untuk berkarya tanpa melihat KUM dan kepangkatan. Untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya untuk kemudian menjadikan pendidikan tinggi bukan sebagai menara gading.
Ada kemiripan pula antara aku dengan mas Anies dalam hal latar belakang keluarga. Meski kakek mas Anies adalah seorang negarawan di era awal Republik ini, namun beliau dibesarkan dalam keluarga pendidik. Akupun berasal dari keluarga pendidik. Ibuku seorang guru sekolah menengah pertama yang mengajarkan nasionalisme dan Pancasila sedangkan ayahku juga seorang Profesor bidang pendidikan. Aku-pun tergerak untuk memajukan pendidikan Indonesia dalam artian luas dan khusus. Dalam artian luas, aku tergerak untuk memajukan pendidikan dalam artian luas, karena pendidikan itulah yang membuka jendela intelektualitas dan dalam artian sempit aku berkiprah secara profesional dalam institusi. Aku tidak mengejar gelar Profesor, namun lebih pada dedikasi terhadap pembelajaran Indonesia dalam bidangku.
Dalam hubungannya dengan calon presiden, aku melihat bahwa pilihan Mas Anies untuk ikut dalam gerbong Jokowi-Jusuf Kalla bukan tanpa maksud. Beliau pasti melihat bahwa memihak pada salah satu capres adalah dalam rangka mengejawantahkan nilai perjuangan transformasi masyarakat melalui pendidikan. Pola berfikir beliau memang kadang disepelekan karena hanya menekuni, "gerakan Indonesia mengajar" yang notabene tidak langsung membawa pada perubahan. Tapi justru disitulah saya melihat bahwa konsep transformasi dalam dunia pendidikan berbeda dengan pertumbuhan dalam dunia ekonomi-industri. Untuk merubah mental dan mind-set tidaklah mudah, memerlukan waktu panjang dan perjuangan yang tiada henti. Seorang pendidik harus sabar bahwa hasil dari perjuangannya tidak bisa dihasilkan dalam satu malam, dan ketika berhasil, hasilnya-pun belum tentu menguntungkan secara ekonomis. Ketika ada permasalahan sosial yang berhubungan dengan pendidikan, pendidik sering disalahkan, namun ketika berhasil sering sekali terlupakan.
Mas Anies, aku mengikuti-mu untuk memilih presiden sesuai dengan aspirasi-mu. Aku harapkan kepemimpinan dan transformasi pendidikan di tangan-mu. Aku bantu dengan semua upayaku untuk Indonesia tercinta. Bismillah.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar