Senin, 28 April 2014

Membaca : Memahami Realitas "di luar sana"

Iqra bismi rabbikalladzikhalaq, "bacalah dengan asma Tuhan yang menciptakan".

Apabila perintah tersebut hanya berbunyi, "Iqra' bismi" atau bacalah saja tanpa menggunakan "dengan asma Tuhan yang menciptakan".

Misalnya berbunyi, "bacalah dengan nafsu-mu" apakah akan berbeda dalam melihat realitas ?

Sebagian besar dari pembaca barangkali ada yang mengangguk-angguk mengerti jawabannya, namun sebagian pasti akan mengernyitkan dahi dan bergumam, "ke arah mana pertanyaan orang sinting ini ?". Bagaimana mungkin seorang atheis bisa membaca realitas dengan asma Tuhan, padahal seorang ateis tidak percaya Tuhan ? Apakah realitas yang dilihat seorang yang beriman akan sama dengan realitas yang dilihat oleh orang ateis ?

Sebuah dialog antara orang beriman dan ateis tentunya sering terjadi di dunia maya di era social media ini. Pertanyaan yang sering muncul biasanya, "siapakah yang menciptakan semesta ini ?". Pernah perdebatan terjadi antara seorang ilmuwan Fisika yang meyakini adanya Tuhan sebagai Pencipta semesta dan seorang ilmuwan Fisika yang tidak meyakini Tuhan sebagai Pencipta semesta. Perdebatan tersebut sebagaimana perdebatan serupa sebelumnya berakhir tanpa kesimpulan dan masing-masing kembali ke rumah "paradigma" masing-masing. 

Padahal kalau kita amati, si Fisikawan ber-Tuha maupun yang tidak ber-Tuhan tidak bisa membuktikan ada tidaknya Tuhan hanya dengan ilmu Fisika. Mengapa ? Karena ilmu Fisika tersendiri menggunakan epistimologi yang berbeda dalam melihat alam raya sebagai semesta. Bagaimana epistimologi yang berbeda dalam melihat "dunia luar sana" dapat menghasilkan hasil analisis yang sama ?

Perdebatan semacam ini sebenarnya sudah muncul jaman dahulu lewat perbedaan "pandangan" al-Ghazali dan ibnu Rusyd. al-Ghazali menyebut "kerancuan Filsafat" atau Tahafut al-Falasifah sedangkan ibnu Rusyd menyebutkan tentang Tahafut at-Tahafut atau "kerancuan dalam kerancuan". Banyak para pengamat jaman sekarang yang langsung memvonis "sesat" dan kafir pada ibnu Rusyd. Sebaliknya, banyak pula yang mengatakan al-Ghazali itu kolot dan kuno, terutama dari kalangan orang modern. Dan tidak sedikit pula "orang-orang yang mendeklarasikan hidup di atas sunnah" mengatakan bahwa al-Ghazali itu tidak memakai landasan al-hadits dan as-sunnah. Tidak sedikit pula yang akan memvonis ibnu 'Arabi sesat dan musyrik serta tidak berlandaskan al-Qur'an dan as-sunnah. Padahal kalangan yang berkata demikian apabila ditanyain mengenai sanad dan matan juga tidak akan mampu karena belajar dari orang yang tidak tahu pula.

Kembali kepada judul, "Membaca : Memahai Realitas di luar sana", lalu apabila demikian bagaimanakah kita akan memahami "bagaimana memahami realitas" di luar sana ?

Melihat realitas di luar sana, atau iqra' tentunya membutuhkan alat epistimologi (ilmu), baik itu alat epistimologi (ilmu) hushuli atau ilmu melalui perantaraan konsep atau ilmu kehadiran (hudhuur). Selanjutnya, apabila itu ilmu hushuul maka akan terjadi bounded reality dan conceptual boundary. Misalnya, seorang sosiolog akan melihat realitas yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan "kacamata" seorang sosiolog, begitupun seorang ekonom.

Untuk yang kedua, conceptual boundary terjadi karena ilmu hushuuli dapat dilihat melalui perantaraan konsep. Dalam arti kata, keahlian keilmuwan untuk melihat realitas diperlukan apabila aspek yang dilihat itu diperlukan. Misalnya pada kasus pelecehan dan sodomi di sebuah sekolah internasional bisa dilihat dari berbagai perspektif keilmuwan. Televisi yang ingin mendatangkan narasumber tentunya memerlukan mapping akan sudut pandang mana yang diperlukan. Misalnya, dari sudut pandang sosial, psikologis, hukum, psikologi anak, kriminalitas dsb.

Ilmu hudhuur atau ilmu dengan kehadiran dimana sang pengamat dan yang diamati berada pada ruang-waktu yang sama tanpa batas antara si pengamat dan yang diamati. Ilmu hudhuur dalam tasawuf adalah ilmu yang diperoleh dengan kehadiran. Berikut ini cuplikan dari sebuah blog yang menyajikan buah pandangan Mulyadhi Kartanegara :

Ilmu hushuli adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari objek yang ada di luar kita secara objektif. Misalnya pengetahuan tentang meja dan gelas yang ada di atasnya. Menurut ahli ilmu hudhuri, sebuah benda yang ada di hadapan kita, selalu memiliki dua macam objek. Objek subjektif yang ada atau hadir dalam diri (pikiran) kita, dan objek objektif yang ada di luar diri kita. Objek yang di luar diri kita disebut bentuk (shurah), sedangkan objek yang ada di dalam diri kita disebut makna. Ilmu hushuli dimungkinkan tapi tanpa jaminan kebenaran. Ia dicapai oleh manusia berdasarkan pada "keserupaan" atau "korespondensi" antara bentuk dan makna. Kalau korespondensi ini berkorelasi positif, maka pengetahaun dikatakan benar, kalau negatif maka dikatakan salah atau keliru.
Berbeda dengan midus ilmu hushuli, ilmu hudhuri pada umumnya berhubungan dengan makna atau objek subjektif yang sudah "dihadirkan" dalam diri kita. Ia bukan tentang objek objektif yang berada di luar diri kita, sehingga objek ini disebut absen atau tidak hadir dalam diri kita dan tidak bisa kenal secara langsung atau intuitif. Sebaliknya ilmu hudhuri selalu menangkap objeknya secara langsung, karena ia telah "hadir" dalam diri kita. Dan justru karena ia telah hadir dalam diri kita, maka kita mengetahui objek tersebut seperti kita mengetahui diri kita sendiri. Dari sinilah muncul konsep self-knowledge, pengetahuan tentang diri sendiri. Dalam pengetahun diri, karena subjek dan objek adalah sama, maka jurang yang biasanya menganga antara subjek dan objekpun telah terjembatani. Maka terjadilah identitas (kesamaan) antara subjek dan objek. Pengetahuan diri sedemikian langsungnya, karena tanpa simbol apapun, sehingga kebenarannya pasti terjamin, karena di sini knowing (mengetahui) adalah sama dengan ada (being), ringkasnya "knowing is being," di mana pengetahuan telah menjadi wujud itu sendiri.
Namun, ilmu hudhuuri ini hanya bisa didapat melalui pembersihan (tazkiyyatul) nafs.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar