Senin, 05 Mei 2014

Kreativitas Jogja : sebuah modal sosial atau sekedar branding ?

Beberapa hari yang lalu aku terjun ke wilayah lereng Merapi di Sleman, Jogjakarta. Memang, tidak dapat dipungkiri, aktivitas Merapi beberapa hari terakhir menyulut kepanikan warga. Namun seiring dengan waktu, warga-pun sudah tenang kembali.

Aku sempatkan berdiskusi dengan teman lama-ku yang banyak berkecimpung dengan dunia pergerakan pemuda dan LSM Kelompok Lingkar Merapi (KLM) yang bertugas melakukan mitigasi bencana di wilayah lereng Merapi.

Dia sempat menanyakan pendapatku sebagai orang yang tinggal di luar DIY mengenai Jogjakarta, khususnya wilayah Sleman. Aku pun menanggapi-nya dengan berseloroh bahwa bagaimana orang risau dengan potensi Sleman, ketika Sleman secara tidak sadar sudah dipasarkan oleh "Mbah Merapi".

Dua hari kemudian aku bertemu teman lama yang bergerak di bidang per-kopi-an. Ia mengatakan bahwa harga kopi robusta Merapi lumayan mahal dibandingan dengan robusta dari daerah lain. Menurut keterangan beberapa orang yang berkompeten dalam perdagangan kopi adalah, kopi Merapi dikemas apik dalam kemasan bertuliskan kopi "Merapi". Sebuah branding gratis alamiah yang mampu menyedot wisatawan manca maupun dalam negeri dengan harga non-commodity. 

Kreativitas di Jogja barangkali bisa disejajarkan dengan kreativitas kawula Bandung maupun Bali yang memiliki skill dan kreativitas. Keberadaan Jogja di blantika nasional bisa disejajarkan dengan Bandung dan Bali. Wilayah-wilayah dengan modal sosial dan brand kreativitas dalam berkreasi. Pertanyaannya adalah, apakah kreativitas tersebut merupakan sebuah modal sosial untuk membangun wilayah atauah sekedar branding yang lama-kelamaan bisa terlarut dalam geliat jaman ?

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar