Senin, 05 Mei 2014

Duduk di dua kedai kopi yang berbeda

Di Jogjakarta, orang bisa memilih kopi berdasarkan tempat tongkrongannya. Selama empat hari aku keliling Jogja (dan sekitarnya) untuk menikmati kopi. Sebagian besar kedai kopi di Jogjakarta memang terletak di wilayah Sleman Selatan, yaitu wilayah Depok dan Mlati, yaitu dua Kecamatan di Sleman yang pesat sekali pertumbuhannya.

Aku nongkrong di dua kedai kopi single-origin yang hanya menjual kopi arabica dan dua kedai kopi yang menjual kopi robusta (yang murah) dan berbagai menu kelas mahasiswa. 

Orang bilang, kedai kopi adalah bisnis yang mengandalkan pada jaringan sosial atau social network. Dari pengalaman nongkrong di kedai kopi kelas mahasiswa aku menemukan sebuah dinamika yang berbeda dengan kedai kopi kelas atas yang menyajikan arabica robusta. Berbeda pula dengan saat aku survei di beberapa kedai kopi khas tukang becak dengan berbagai dinamika masyarakat bawah.

Di kedai kopi kelas mahasiswa dan kelas tukang becak, harga boleh dikatakan murah meriah, sedangkan kedai kopi khas kelas atas lebih menyajikan tempat yang cozy dan elegant lifestyle. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena harga kopi di kedai single origin memang lumayan mahal. Rajikan kopi tubtuk single-origin dibandrol 15 ribu sedangkan harga lainnya lebih dari itu. Kalangan yang nongkrong-pun berbeda, mulai dari mahasiswa kelas atas, manajer proyek, pengusaha, free-lance dsb. Motivasi nongkrongpun berbeda, mulai dari diskusi proyek, diskusi filsafat sampai dengan negosiasi harga jual-beli barang.

Kedai kopi kelas mahasiswa, merupakan tempat kongkow-kongkow dari diskusi-diskusi ringan sampai berat. Perbedaan antara kedai kopi kelas atas dan kelas mahasiswa adalah harga sajian. Karena kualitas diskusi di kedai atas dan mahasiswa tidak terlalu berbeda alias "di awang-awang". Hal ini berbeda dengan diskusi kelas kedai kopi tukang becak di wilayah Malioboro yang sering sekali jadi tempat curhat kehidupan sehari-hari dan diskusi politik kelas kacangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar