Sabtu, 10 Mei 2014

Memaknai Kembali Kemerdekaan Indonesia (Tulisan 1)

Di jaman kemerdekaan ini, ada baiknya kita mengingat kembali perjuangan para founding fathers kita dalam memerdekakan Indonesia. Hal ini penting karena di era globalisasi ini, bangsa Indonesia senantiasa berjuang untuk memperkuat eksistensi pada segala bidang diantara bangsa-bangsa di dunia ini. Era globalisasi dengan berbagai kemajuan, memiliki beberapa kelemahan yang patut kita garisbawahi. Diantara kelemahan adalah semakin kendurnya makna kebangsaan kita. Seolah kita lupa, bahwa globalisasi bukan berarti bahwa eksistensi kebangsaan Indonesia hilang ditelan jaman. Ketika perjuangan pergerakan kemerdekaan telah kita lewati dalam rentang yang sangat panjang dan sekarang kita mengisi kemerdekaan bukan berarti perjuangan pergerakan sudah usai. Memang, kita sudah dianggap sejajar sebagai sebuah bangsa dan Negara di dunia internasional, namun bagaimanakah dengan eksistensi bangsa kita di bidang lain ? Apakah rakyat kita sudah benar-benar merdeka ?

Dalam sejarah perjuangan pasti ada pro-kontra dalam menyikapi suatu hal. Hal ini berlaku pula pada kasus perjuangan pada beberapa peperangan yang terjadi di Nusantara sebelum kemerdekaan. Jadi sebenarnya, banyak sekali dari kejadian-kejadian dalam sejarah apabila tidak jeli maka akan terjebak pada menyalahkan penjajah Eropa dan melupakan antek-antek penjajah pribumi yang menjadi alat dari penjajah Eropa. Hal ini disebabkan karena pragmatisme berfikir dari antek-antek tersebut yang hanya melihat realitas keuntungan sesaat. Sedangkan sebaliknya para pejuang yang tercatat dalam sejarah pada waktu itu disebut sebagai pemberontak atau ekstrimis. Hanya kebetulan saja saat ini NKRI sebagai perwujudan perjuangan panjang bangsa Indonesia berdiri sehingga sejarah mencatat para pejuang adalah orang yang berjasa, sebalikya pribumi yang ada di pihak Belanda sebagai antek penjajah. Dalam hal ini berlaku istilah, "sejarah tergantung siapa yang memenangkan dan berkuasa". Apabila alur sejarah berlaku sebaliknya, maka boleh jadi Pangeran Diponegoro, Pattimura, Cut Nya Dhien akan menjadi pemberontak dalam sejarah.

Dengan memaknai kembali kemerdekaan Indonesia, maka kita membuat gerbang ke masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada saat pergolakan kemerdekaan beserta latar belakangnya, sehingga kita bisa memandang masa depan Indonesia dengan kacamata yang baru. Namun, bagaimana kita melihat sejarah, kita membutuhkan konteks dari kejadian-kejadian masa lalu secara lengkap dan hati-hati sehingga kita bisa memandang dengan tepat.

Marilah kita mengingat mengapa pada awalnya kita dijajah ? Meski penjajahan secara politis baru dimulai saat Pemerintah Hindia Belanda berdiri untuk mengambil alih wilayah kekuasaan VOC pada tahun 1800, namun penjajahan secara ekonomi sudah terjadi sejak bangsa Eropa datang ke Nusantara. Pembaca bisa membaca sejarah Nusantara di era 1800 bahwasanya pulau Jawa dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai seluruh wilayah nusantara tidak berhenti hingga Pulau Jawa. Sebagian wilayah mulai dikuasai oleh Belanda satu demi satu sampai ahmpir seluruh Nusantara dikuasai pada saat awal 1900. Demikian panjang usahan Belanda untuk menguasai Nusantara dan sedemikian panjang pula pergolakan-pergolakan Nusantara untuk melawan hegemoni Belanda. Tulisan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan Bangsa Belanda atau Bangsa Eropa lainnya dalam menguasai wilayah-wilayah jajahan, namun berusaha untuk mengingatkan bahwa perjuangan eksistensi sebuah bangsa itu diperlukan dalam setiap jaman. Perjuangan eksistensi telah terbukti dengan lahirnya Negara Republik Indonesia, namun perjuangan eksistensi secara ekonomi maupun peradaban masih sangat jauh. Intinya, dalam setiap jaman diperlukan perjuangan sebuah bangsa untuk diakui dalam kancah kehidupan ini. 
Barangkali kita lupa dari proses perjalanan sejarah masa lalu bahwasanya eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa memerlukan waktu yang lama. Munculnya Sumpah Pemuda merupakan sebuah deklarasi akan eksistensi sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Tanpa Sumpah pemuda yang dideklarasikan 28 Oktober 1928, barangkali perjuangan politik tidak ada artinya. Dengan adanya eksistensi sebuah bangsa maka kemudian muncul kesadaran akan perlunya sebuah nation state. Ya, sebuah nation memerlukan sebuah state atau Negara untuk hidup. Manuel Castells (2000) menganjurkan agar perlu membedakan antara negara dengan bangsa. Negara adalah organisasi politik yang secara eksternal merupakan kekuatan independen, dan secara internal adalah kekuasaan tertinggi, dengan kekuatan utama ada di rakyat dan uang untuk menjagai independensi dan otoritasnya. Paling tidak ada beberapa kasus yang bisa menjadi cerminan hubungan bangsa dan Negara. Apabila castells (2000) mengamati kasus (1) nation without state dan (2) nations against state maka kita bisa menambahkan nations distributed into different states. Dalam relasi Negara dan bangsa, Castell mengamati kasus Catalunia dan Uni Sovyet. Untuk kasus Catalunia Castells menyebutnya sebagai nation without state sedangkan untuk kasus Uni Sovyet sebagai nations against state.  

Castells menggunakan bangsa Catalonia sebagai kasus nation without state. Sedangkan kita bisa juga memasukkan bangsa Palestina sebagai bangsa tanpa negara ketika masih harus hidup dibawah regim Israel.Sedangkan bangsa Kurdi merupakan sebuah bangsa yang masuk ke dalam negara yang berbeda-beda. Bangsa Kurdi yang bermukim dan hidup di Kurdistan, yaitu wilayah pegunungan di Asia Barat yang termasuk bagian dari Turki, Iran, Irak, Suriah, dan Armenia. Beberapa kali bangsa ini mencoba untuk mendirikan Kurdistan Raya namun gagal, sehingga pada akhirnya mereka lambat laun menerima tawaran otonomi khusus dari Negara tempat mereka berada..

Sebutan suku-bangsa dan bangsapun menjadi kabur ketika kita melihat suku Kurdi. Dalam konteks kebangsaan sebenarnya ia adalah Bangsa Kurdi yang memiliki keterkaitan sejarah dan wilayah geografis. Dalam konteks dimana ia berada maka ia masuk ke dalam sub-bangsa, missal dalam negara Irak mereka masuk dalam kategori suku Kurdi, begitupun di wilayah negara Iran, Turki, Suriah maupun Armenia.

Uni Sovyet lebih mirip dengan Indonesia yang terdiri dari kelompok masyarakat yang beragam. Jaman dahulu Uni Sovyet identik dengan bangsa Rusia, kendatipun di dalamnya banyak sekali bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan masuk dalam Negara Uni Sovyet. Ketika mengalami disintegrasi, maka lahirlah berbagai Negara-bangsa.

Nah, kasus Indonesia barangkali unik karena proses perjalanan menjadi Republik Indonesia sekarang ini mengalami proses yang berliku. Semoga tidak terjadi sebagaimana pada Negara Yugoslavia dan Uni Sovyet karena akan terjadi pembalikan sejarah yang menyakitkan. Apabila di NKRI mengalami disintegrasi, bukan hanya mengingkari perjanjian sacral Proklamasi Kemerdekaan, namun juga mengingkari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Untuk itu marilah kita mengingat kembali proses menjadinya sebuah bangsa yang terkristalisasi pada saat Sumpah Pemuda 1928 untuk kemudian mengingat kembali proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Apakah yang terjadi apabila Sumpah Pemuda tidak ada ? dan apakah yang terjadi apabila tidak pernah ada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ? Akankah bangsa Indonesia ada ? Apakah sebuah Negara ada untuk merepresentasikan bangsa/suku-bangsa yang mendiami nusantara ?
Perlu kita memaknai kembali makna kemerdekaan Republik Indonesia ini di era globalisasi. Globalisasi memiliki dampak akan apakah itu nation state. Dunia memang mengalami perubahan yang pesat di era modern ini. Apabila paska Perang Dunia II membawa dampak diakuinya kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan mendirikan sebuah Negara, maka setengah abad kemudian kita mempertanyakan kembali eksistensi sebuah bangsa dan Negara dalam kancah global. <BERSAMBUNG>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar