Setelah tulisan ke dua mengenai "Mengenai Kembali Kemerdekaan Indonesia" saya mempertanyakan sejarah terbentuknya sebuah kesepakatan akan adanya istilah Bangsa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebuah kristalisasi akan keberadaan sebuah bangsa dalam blantika hubungan antar manusia dalam lingkup nusantara. Pertemuan kelompok-kelompok manusia dalam satuan kerajaan telah mewarnai terbentuknya "pakta nusantara" berupa Sumpah Pemuda. Pakta nusantara tersebut didahului oleh kesamaan nasib sebagai jajahan Belanda beserta dialektika yang ada di dalamnya. Munculah kemudian Deklarasi Kemerdekaan Indonesia dan perjuangan revolusi untuk mempertahankan deklarasi 17 Agustus 1945. Lalu kita bertanya, apakah mungkin deklarasi 17 Agustus 1945 terjadi tanpa didahului oleh "pakta nusantara" bernama Sumpah Pemuda yang menyatakan, Bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, Indonesia.
Pernahkah kita mencoba untuk melihat kemerdekaan Negara Timor Leste melalui kacamata mereka ? Apakah pernah terfikirkan bahwa partai APODETI dianggap sebagai pengkhianat Bangsa Maubereketika partai Apodeti memperjuangkan integrasi dengan Indonesia, sedangkan UDT menginginkan kemerdekaan secara bertahap dan FRETILIN menginginkan kemerdekaan lepas dari kekuasaan Portugal maupun dari kekuasaan Indonesia. Perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Maubere terletak pada ada/tidaknya envisioning sebagai sebuah bangsa yang satu.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa para pejuang kemerdekaan-pun memiliki sudut pandang sendiri-sendiri akan makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Apakah bangsa Indonesia secara politis mandiri, ataukah dalam sebuah persemakmuran ataukah tetap berada secara politis di bawah negeri Belanda ? Pandangan para pejuang-pun pada suatu titik tertentu membentuk faksi-faksi. Faksi relijius, nasionalis maupun komunis (demikian klasifikasi Soekarno terhadap ideologi para pejuang). Ada kelompok pejuang yang kemudian dieksekusi karena berhaluan komunis dan ingin mendirikan negara komunis Indonesia seperti Amir Syarifuddin. Ada kelompok pejuang yang kemudian dieksekusi karena berhaluan relijius dan ingin mendirikan pemerintahan Darul Islam semacam Kartosuwiryo. Ada kelompok pejuang yang kemudian berhaluan nasionalis dan secara politis mendirikan Negara Republik Indonesia yang kini kita kenal. Sejarah memang ditulis berdasarkan siapa yang memenangkan persaingan. Kalau saya pribadi lebih cenderung untuk memihak Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena terlahir di era 70-an. Konstelasi perpolitikan yang terjadi pada era 1945-1950 hanya dapat didengarkan dari sejarah perjuangan bangsa.
Terkembali pada bangsa Timor Leste, negeri Lorosae adalah negeri yang mereka diami dengan pemerintahan di bawah mandat rakyat yang terlahir melalui kemerdekaan "jejak pendapat 1999". Tidak ada istilah "bagian dari Indonesia" sebagaimana saya sendiri sekarang menyatakan "hidup mati NKRI" lepas dari pengaruh Belanda adalah sesuatu hal yang lumrah. Ketika ada orang tua bekas tentara NICA mengunjungi Indonesia dengan mengenang perjuangannya barangkali mirip-mirip dengan pensiunan tentara TNI yang ditugaskan di Timor Timur waktu itu. "Pengkhianatan" Eurico Hueterres dimata bangsa Lorosae barangkali sama dengan pandangan kita terhadap Sultan Hamid yang memihak Belanda maupun anggota KNIL dari Jawa, Ambon, Maluku yang memihak Belanda dan meninggal sampai tua di Belanda.
Perbedaan antara Bangsa Indonesia dengan bangsa Maubere barangkali adalah belum adanya "saat" mengkristalkan diri sebagai sebuah bangsa. Timor Portugis mengalami vakum kekuasaan selama tiga bulan paska Revolusi Bunga (Carnation Revolution) di Portugal namun belum sempat mengalami kristalisasi sebagai sebuah bangsa sebagaimana bangsa-bangsa yang dikuasai pemerintah kolonial mencapai level awareness sebagai sebuah bangsa pada era 1900-saat sebelum PD II.
Memiliki sebuah kesamaan visi dan misi bagi sebuah bangsa adalah penting dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan. Hal ini dapat kita lihat pada pergulatan bangsa Indonesia dari menyadari sebagai sebuah bangsa sampai dengan mewujudkan sebuah negara bangsa (nation-state).
Sebuah kontrak sosial telah bangsa ini lakukan untuk menyatakan eksistensinya sebagai sebuah entitas sosial, yang kemudian pada tahapan selanjutnya mencari bentuk dari eksistensi tersebut. Kemunculan eksistensi idiil menjadi kemunculan eksistensi riil membutuhkan perjuangan. Begitupun mengingat eksistensi idiil untuk mengisi eksistensi riil diperlukan untuk melangkah ke depan.
Andaikan Belanda berhasil menguasai NKRI dan menjadi Republik Indonesia Serikat, barangkali deklarasi kemerdekaan 17 Agustus tidak akan ada artinya. Begitupun apabila, misalnya, NKRI tidak bisa mempertahankan eksistensi de facto dan yuridis sebagai sebuah nation-state saat ini, maka deklarasi Sumpah Pemuda tidak akan ada artinya. Semoga itu tidak terjadi. Meski kita tidak menghendaki hal itu, namun kemungkinan terjadi seperti itu akan terjadi apabila kita tidak memahami makna sebuah kemerdekaan Indonesia. Dalam blantika sejarah, kita lihat bangsa bangsa mengalami pertumbuhan, kemajuan dan kemunduran sebagai konsekuensi sunnatullah. Adalah ujian yang berat untuk mempertahankan eksistensi de facto dan de jure sebuah nation-state, namun sebuah tantangan di era post-modern ini untuk mempertahankan eksistensi idiil akan apa itu makna idiil sebuah bangsa.
Karena apabila tidak bisa menemukan kembali eksistensi idiil, apakah artinya sebuah nation-state. Dan apabila kita tidak dapat mempertahankan eksistensi riil sebuah bangsa, apakah kita harus bertanya kembali eksistensi idiil dan menemukan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa. After all, hidup ini adalah sekumpulan dialektika yang berkelindan untuk menuju sebuah makna sejati dari semua ini, yaitu MENGENAL SANG PENCIPTA dalam adanya ayat-ayat hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar