Sabtu, 12 April 2014

Mengenal Diri

Man 'arafa nafsahu faqodl 'arafa Rabbahu

Kenalilah diri-mu maka (engkau) akan mengenal Tuhan-mu.

Bagaimanakah diri apabila tidak mengenal Tuhan, lalu bagaimanakah mengenal Tuhan ?

Tuhan telah menyatakan bahwa terdapat bukti-bukti kekuasaan-Nya dalam bentuk ciptaan dalam semesta dan dalam diri mereka sendiri.

Dengan kata lain, kita tidak bisa mengenal diri tanpa mengenal Tuhan, dan untuk mengenal Tuhan tidak ada cara lain selain melihat ciptaan dalam diri sendiri maupun dalam semesta.

Tidak ada diri-ku (aku) apabila tidak ada diri-mu (engkau) karena hanya dengan mengenal engkau-lah maka diri-ku ada. Ada semacam paradoks disini karena untuk mengenal diri harus mengenal ciptaan Allah yang lain ?

Cogito ergo sum tidalah sepenuhnya salah. Banyak sekali spiritualis yang mengatakan bahwa kalimat Descartes menunjukkan kesombongan dan ke-aku-an. Namun sebenarnya berfikir itu sendiri tidak mungkin terjadi apabila tidak ada obyek yang difikirkan oleh pemikir sebagai subyek.

Afalaa ta'qiluun, "apakah mereka tidak berfikir ?". Apakah mereka tidak berfikir mengenai apa yang ada dalam semua fenomena dan kejadian ? Dari sinilah Allah menantang seorang insaan untuk berfikir mengenai orang-orang yang tidak berfikir sebagai cerminan. 

Perbedaan antara kalimat umum Descartes adalah identitas "aku" dalam posisinya dalam kehidupan dengan afalaa ta'qiluun adalah afalaa ta'qiluun meletakkan manusia dalam posisi insaan yang ber-Tuhan sedangkan Descartes merupakan kalimat umum yang menyatakan "aku" itu ada apabila seorang manusia berfikir. Berfikir mengenai diri, mengenai lingkungan alam berikut mengenai lingkungan manusia.

Dalam literatur tasawuf, ada istilah Higher Self dimana Higher Self merupakan suatu fakultas kesadaran tertinggi yang merupakan cerminan dari Tuhan. Higher Self ini hanya terdapat dalam diri seorang manusia dan tidak terdapat pada makhluq ciptaan lain. Disinilah Allah berfirman yang maknanya adalah "gunung-gunung tidak mampu menampung Asma-Ku, tapi hamba-Ku yang beriman mampu untuk menampung".  Dalam level yang lebih rendah lagi ada Universal Self atau Diri Semesta. Dalam beberapa tradisi timur ada yang mengatakan, "Tuhan adalah semesta" atau Self dalam level semesta. Higher Self dan Universal Self ini dalam konsep Martabat Tujuh atau the seven level of self terdapat level-level : Ahadiyah, Wahda, Wahidiyah, Arwah, Ajsam, Mitsal, Ajsaam dan Insan Kamiil. Ajaran Martabat Tujuh mengajarkan bahwa Allah bertajali dalam ketujuh dimensi. Pada dimensi paling bawah adalah Insaan Kamiil. Insan Kamiil ini adalah tahapan manusia sempurna atau Higher Self. 

Higher Self muncul dalam diri manusia tercerahkan yang telah melalui dialektika kehidupan. Ya, inilah yang disebutkan oleh Hegel sebagai dialektika di dalam diri manusia. Secara ringkas, membaca pendapat Hegel sama dengan mengintegrasikan tiga filsuf kesohor sebelumnya, yaitu Kant, Fichte dan Schelling.

Pendapat utama Fichte terletak pada pemahaman atas diri yang disebut "Aku" atau "Ego". Dalam Islam, diri ini disebut sebagai nafs.  Menurut Fichte, “Aku” ini merupakan unsur terpenting dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan perenungan. Hal ini sama dengan pendapat Descartes yang mengatakan Cogito ergo sum. Namun demikian, Fichte berpendapat bahwa  Aku tidaklah sendirian. Aku ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku.

Dalam konteks ini, sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga, dengan pergumulan Aku yang lain, Aku menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Bahasa sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi tidak bebas.
Dalam konteks dialektika, pendapat Fichte dapat dirumuskan menjadi

Aku ini sadar (tesis) - Ada Aku lain (antitesis) – Aku dan Aku lain saling membatasi (sintesis)

Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri "roh") ataupun objektif (berciri "materi"). Aku mengatasi keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat dipandang sebagai Aku.

Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian:

Aku yang lain atau alam (tesis) – Aku individu atau manusia (antitesis) – Aku yang bukan materi dan roh (sintesis).

Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu merumuskan sesuatu yang "sederhana" dibandingkan dua pendapat filsuf itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya atas masalah ini menjadi:
 

Idea (tesis) - Alam (antitesis) - Roh (sintesis)












 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar