Jumat, 07 November 2014

Suwung : kondisi tiada makna

Sore ini aku mengalami kondisi suwung. Suatu kondisi tanpa harapan dan ketakutan. Sebuah kondisi yang ingin dicapai oleh para yogi dengan meditasinya untuk mengosongkan pikiran dari semua persepsi akan kausalitas dunia. Namun bagiku, kondisi suwung hanyalah sebuah fase dalam kehidupan ini agar bisa keluar dari carut marut kehidupan dunia yang relatif. Bagi saya, suwung adalah sebuah kondisi tiada persepsi akan segala obyek yang muncul dalam panca indra kita.Dalam kondisi ini, sering sekali aku diam saja, tanpa ingin berbicara dengan siapapun. Ketika menuliskan inipun aku malas menekan tuts-tuts keyboard yang semakin hari semakin usang.

"Apakah yang kamu cari di dunia ini ?", demikian sebuah pertanyaan yang muncul dari lubuk paling dalam diriku. Ketika semua akibat dan sebab tiada berarti sama sekali. Akupun tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku ini. Sering sekali aku terduduk, termenung, tapi tiada apapun yang muncul dalam benakku kecuali sebuah pertanyaan, "Apa yang kamu cari di dalam dunia ini, di dalam kehidupan ini ?". 

Biasanya setelah mengalami kondisi suwung, aku akan mendapatkan kesadaran akan kausalitas kemudian. Kebetulan sore ini, setelah aku mengalmai kondisi suwung, teringat kembali beberapa wacana mengenai dunia ini. 

NAH, saat ini aku sudah kembali memiliki kesadaran kausalitas setelah mengingat kembali pelajaran "Tertium Organum" dari Ouspensky, Critical Realism dari Bhaskar dan Integral Holon dari Ken Wilber. Ketiganya merupakan teosofis dalam kajiannya masing-masing. Apabila Ouspensky membuktikan adanya Organum Ketiga melalui pembuktian matematis, Bhaskar menggunakan kacamatanya sebagai filsof, Ken Wilber menggunakan kacamatanya sebagai ahli psikologi transpersonal.

Sudah bisa ditebak bahwa pembaca awam akan mengalami kesulitan memahami apa yang ketiga teosofis tersebut katakan. Barangkali hanya sebagian kecil yang bisa memahami pembahasan mereka.

Pada intinya, "hal" atau suatu kondisi suwung tersebut ada dalam setiap budaya spiritual dengan bahasa yang beragam. Apabila dalam Budhisme Zen disebutkan sebagai kondisi Zen, Budhisme Trevadha sebagai thathata atau kesedemikianan, dalam tradisi Jawa sebagai suwung.

Setelah kesadaran kausalitas muncul, maka kemudian muncul kondisi baru integratif yang apabila dibahasakan menjadi "memahami titik temu dualitas". Maka dalam beberapa spiritualitas Timur muncul istilah "kosong itu isi dan isi itu kosong" atau semacam "melar-mengkeret". 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar