Jumat, 28 Maret 2014

Ratu Adil : The Emergence of Grassroot Movement (1)



Saat ini aku sedang duduk termenung di sebuah rumah kopi menikmati secangkir kopi single origin Arabika Kintamani Bali. Rumah kopi tersebut bernama "Rumah Kopi Ranin" yang terletak di Jalan Bangbarung No 23 kota Bogor.  Rumah kopi tersebut khusus menjual kopi "single-origin" asli Nusantara. Salah satu diantaranya adalah yang sedang aku nikmati. Aku menerawang jauh ke daerah penghasil kopi di daerah Kintamani Bali sana. Aku membayangkan proses pengolahan kopi mulai dari pemanenan hingga penyangraian sehingga dihasilkan kopi beraroma dan berasa khas Kintamani Bali.

Memang sepintas, tidak ada bedanya rasa antar varietas kopi yang dihidangkan di rumah kopi ini. Namun di rumah kopi inilah aku belajar bahwa masing-masing kopi berbeda satu sama lain dari sisi rasa dan aroma. Rumah kopi ini tidak hanya menjual kopi, namun menjual suasana dan pengetahuan tentang kopi. Salah satu pendiri rumah kopi, Uji Saptono, mengatakan bahwa rasa dan aroma kopi tidak terlepas dari penanganan bahan paska panen maupun pengolahannya. Dari pakar kopi inilah aku banyak belajar tentang kopi single-origin nusantara. Selain itu, rantai nilai kopi nusantara menghidupi petani kopi di daerah penghasilnya, sehingga interaksi dalam rantai nilai memunculkan dinamika harga, keadilan ekonomi, keberlanjutan terkhusus bagi petani dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tejo Pramono Anung, juga pendiri rumah kopi Ranin menegaskan bahwasanya di dalam secangkir kehidupan yang kita minum, terdapat jejak-jejak kesejahteraan petani di dalamnya. Perlindungan petani dalam rantai nilai kopi diperlukan agar kesejahteraan petani terjada sekaligus nama dari kopi Indonesia menjadi semakin jaya.



Sembari menyeruput kopi, aku melakukan perjalanan di dunia maya untuk menemukan informasi tentang kopi Kintamani Bali. Salah satu komoditas unggulan kopi Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis. Pendaftaran kopi Kintamani tersebut dilakukan bersamaan dengan pembentukan jaringan kerjasama antar stakeholder yang bertujuan untuk melakukan proteksi dan valorisasi kopi tersebut. Hal yang sangat mengejutkan bagi aku adalah, indikasi geografis selain bisa digunakan untuk melindungi produk berbasis geografis dapat juga memunculkan suatu kolaborasi berbasis masyarakat akar rumput di suatu daerah. 

Selama ini, petani dalam rantai pasok kopi hanyalah produsen yang menjadi penonton dalam percaturan bisnis kopi. Sebagaimana komoditas pertanian lainnya, yang dianggap sebagai pelaku adalah pedagang perantara yang memasok ke pembeli. Meski panjang rantai pasok beragam, namun petani tetap saja dianggap diluar rantai pasok, sehingga terbentuklah "exclusive supply chain". Dengan tidak adanya keterlibatan petani dalam rantai pasok, terjadilah apa yang disebut "information assimetry" dalam rantai pasok kopi. Dengan demikian, kualitas banyak didikte oleh pemegang trademark dagang, yaitu perusahaan pembeli. 

Dengan adanya kopi berindikasi geografis dengan masyarakat pemangku indikasi geografis sebagai pemilik sertifikat IG dapat memiliki taring dalam bersaing di dunia internasional. Namun demikian, beberapa hal perlu diperhatikan dalam  penerapan sertifikat IG, yaitu adanya dukungan institusi pengambil kebijakan, sistem traceability atau penelurusan dan kolaborasi dengan masyarakat adat. Dalam kasus Kintamani yang memiliki kohesivitas kelompok adat yang tinggi hal ini menjadi keuntungan tersendiri. Pertanyaan selanjutnya, apakah indikasi geografis pada kopi unggulan lain akan memiliki kesamaan dengan kondisi di Bali. Apakah indikasi geografis pada komoditas lain akan berhasil ?

Komoditas kopi sudah mendunia sejak era kolonialisme, sehingga di pasar dunia telah memiliki pangsar tersendiri tinggal bagaimana "mendidik" konsumen penikmat kopi. Sedangkan pada komoditas lain seperti Salak Pondoh Sleman, Ubi Cilembu dan masih banyak lain apakah memiliki prospek cerah. Perlu kajian mengenai bagaimana meningkatkan "kasta" dari hasil pertanian dari sekedar komoditas yang indeferen dengan nilai rendah menjadi produk spesifik dan khas. Apabila kondisi kopi Arabika Kintamani memiliki kondisi awal kopi sebagai komoditas global dan nama Bali memiliki reputasi tersendiri. Bagaimanakah dengan kopi dari daerah laen dan komoditas spesifik geografis lain yang sekarang sedang mengantri untuk disetujui sertifikat IG ? Langkah apa yang harus dilakukan ? (BERLANJUT)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar