Pernahkah kita merenungkan secara mendalam
bahwa apa yang kita lihat dari “realitas” diluar kita adalah bentukan dari conceptual
model diri kita akan hal-hal yang ada di luar diri kita ? Pernah saya terlibat
diskusi dengan dua orang rekan, seorang berideologi kapitalis dan seorang lainnya
berideologi sosialis. Apa yang saya lihat dari fenomena tersebut sungguh
mencengangkan. Saat itulah aku menyadari betapa keduanya melihat obyek yang
sama, namun dengan interpretasi berbeda. Suatu saat kami mengunjungi sebuah
desa di lereng gunung berapi. Kamu mengamati kegiatan-kegiatan beserta
kehidupan ekonomi dan sosial yang ada di dalamnya.
Setelah kami berkeliling dan menginap beberapa
hari di rumah rakyat pedesaan, kami terlibat diskusi yang serius mengenai
kehidupan di desa tersebut. Rekan saya yang kapitalistik melihat aktivitas
perekonomian beserta peran masing-masing anggota masyarakat tersebut. Di desa
tersebut terdapat pembagian peran atau dalam istilah rekan saya tersebut,
spesialisasi kerja dimana masing-masing individu benar-benar profesional di
dalamnya. Di pasar desa tersebut terdapat proses jual beli barang dan jasa.
Petani menanam dan memelihara tanaman serta kemudian menjual hasilnya di pasar.
Sebagai imbal baliknya, petani mendapatkan untung. Uang hasil menjual panenan
digunakan untuk hidup, menabung dan investasi. Dalam konteks kehidupan
pedesaan, menabung dianggap berbeda dengan investasi. Bagi kita di perkotaan,
menabung di bank merupakan investasi sekaligus karena dengan menabung di bank
kita mendapatkan imbal balik berupa bunga. Di desa tersebut, masyarakat masih
sering menabung di bawah kasur untuk keperluan mendadak dan savings untuk masa
depan. Seorang petani misalnya mendapatkan untung yang kemudian ia tabung di
bawah kasur untuk keperluan mendadak dan pemeliharaan tanaman beserta kegiatan
sosial kemasyarakatan. Tabungan tersebut lama-lama banyak dan kemudian petani
berinvestasi dalam bentuk anak sapi dan kambing yang ia pelihara. Investasi
berupa sapi akan mengalami akumulasi modal, yang kelak bisa menjadikan petani
tersebut sebagai pengusaha. Rekan saya akhirnya menyimpulkan bahwa masyarakat
kapitalisme telah terbentuk di desa tersebut karena keberhasilan petani dalam
membentuk usaha dan mengakumulasikan modal beserta pertumbuhan ekonomi membawa
dampak pada keberhasilan usahanya. Ia juga memberikan contoh beberapa pengusaha
yang muncul di desa tersebut yang akhirnya bukan hanya menjadi petani, namun
tumbuh menjadi pengusaha kecil dan membesar menjadi sebuah usaha besar yang
menggurita dan akhirnya terjadi trickle effect pada kesejahteraan masyarakat
sekitar.
Rekan saya, si sosialis kemudian menutarakan
analisisnya mengenai kehidupan sosial di desa tersebut yang harmonis karena
kental akan nuansa kebersamaan. Ia menganggap bahwa bibit-bibit masyarakat
komunal-sosialis ada di desa tersebut. Ia tidak melihat dengan kacamata yang
dipakai oleh rekan saya yang kapitalis, namun ia melihat gotong-royong dan
kebersamaan dimana di dalamnya terdapat rasa senasib sepenanggungan. Di desa
tersebut semuanya berbagi, apabila ada yang kesulitan, maka yang lain akan
membantu dengan suka cita. “Tidak ada kepemilikan individu”, kata teman saya.
Apabila di desa tersebut ada yang membutuhkan angkutan, maka yang memiliki truk
bersedia meminjamkan kepada yang membutuhkan tanpa dipungut biaya sedikitpun.
Namun, dibalik itu, ia melihat adanya bibit-bibit kapitalisme dimana petani
meningkat kesejahteraan dan mendirikan usaha. Usaha tersebut berhasil dan
memunculkan adanya akumulasi modal. Ia melihat bahwa akan terjadi dialektika
sejarah dalam tatanan masyarakat yang berakibat pada munculnya buruh tani dan
tuan tanah dimana tuan tanah akan memanfaatkan buruh tanah untuk kepentingan
akumulasi modalnya. Setelah terjadi pemanfaatan tersebut, maka akan muncul
perlawanan buruh tani sebagai anti-tesis struktur sistem borjuis. Setelah itu
akan muncul sebuah sintesa akan masyarakat yang sosialis dan komunis, yaitu
sebuah kondisi idiil suatu masyarakat.
Setalah mengutarakan pendapatnya, akupun
kemudian “dipaksa” untuk menganalisis dari sudut pandang saya mengenai
masyarakat tersebut. Akupun kemudian memulai “ocehan-ku” mengenai apa yang aku
lihat. Aku awali dengan pertanyaan sederhana, “bolehkah kita melihat dari sudut
pandang lain selain yang kalian berdua telah utarakan ?”. Dalam pandangan saya,
apakah harus sudut pandang mengenai sistem ekonomi dan sosial dilihat dengan
kacamata biner seperti halnya mengkategorikan menjadi kapitalis dan marxis ?
Bukankah istilah kapitalis dan marxis adalah sebutan bagi orang-orang yang diluar
kedua kelompok yang telah disebutkan itu ? Adam Smith tidak pernah mengatakan
bahwa dirinya adalah seorang kapitalis, atau apakah Karl Marx pernah mengatakan
bahwa dia adalah seorang marxis ? Keduanya tidak pernah mengidentifikasikan
diri mereka sebagai representasi dari dua kubu ideologi yang terlibat Perang
Dingin paska Perang Dunia II. Itu sama saja mengatakan bahwa dua orang manusia
bernama Darmawan dan Utomo yang memiliki pandangan yang berbeda dalam wacana
mengatakan, “saya seorang Darmawanis” atau “saya seorang Utomois”. Seorang
Soekarno saja mengidentifikasi dan mendeklarasikan konsep kerakyatannya sebagai
Marhaenis, bukannya Soekarnois. Hal itu disebabkan karena istilah Soekarnois
adalah sebutan bagi orang-orang diluar Soekarno yang belakangan menggunakan
pandangan dan pemikiran Soekarno yang ada dalam buku dan terbitan Soekarno.
Aku kemudian melanjutkan diskusi itu dengan
bertanya, “mungkinkah ada jalan yang ketiga ?”, yang bukan hanya “ideologi yang
serba bukan” sebagaimana yang disematkan pada Pancasila. Setelah era reformasi,
ideologi Pancasila dikontestasikan dengan ideologi dan isme lain, namun
diposisikan sebagai ideologi lemah, banci dan impoten. Pancasila sejak saat itu
menjadi artefak masa lalu. Apabila kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme
bisa menjadi “besar” karena kontestasi antara dua kubu besar di era Perang
Dingin sehingga tanpa sadar kita mengadopsi tanpa reserve tanpa melihat akar
kemunculan serta kesesuaian dengan realitas saat ini.
Apakah kita akan percaya begitu saja dengan
kapitalisme yang telah menghisap darah dan sumber daya untuk kepentingan para
pemilik modal. Ataukah akan mengadopsi sosialisme-komunisme yang memandang
bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang tidak memiliki kepemilikan
pribadi dan untuk mewujudkannya dilakukan pembentukan “communist-state” melalui
kekuasaan diktator proletariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar