Rabu, 26 Maret 2014

Dialektika Realitas (1)



Pernahkah kita merenungkan secara mendalam bahwa apa yang kita lihat dari “realitas” diluar kita adalah bentukan dari conceptual model diri kita akan hal-hal yang ada di luar diri kita ? Pernah saya terlibat diskusi dengan dua orang rekan, seorang berideologi kapitalis dan seorang lainnya berideologi sosialis. Apa yang saya lihat dari fenomena tersebut sungguh mencengangkan. Saat itulah aku menyadari betapa keduanya melihat obyek yang sama, namun dengan interpretasi berbeda. Suatu saat kami mengunjungi sebuah desa di lereng gunung berapi. Kamu mengamati kegiatan-kegiatan beserta kehidupan ekonomi dan sosial yang ada di dalamnya.



Setelah kami berkeliling dan menginap beberapa hari di rumah rakyat pedesaan, kami terlibat diskusi yang serius mengenai kehidupan di desa tersebut. Rekan saya yang kapitalistik melihat aktivitas perekonomian beserta peran masing-masing anggota masyarakat tersebut. Di desa tersebut terdapat pembagian peran atau dalam istilah rekan saya tersebut, spesialisasi kerja dimana masing-masing individu benar-benar profesional di dalamnya. Di pasar desa tersebut terdapat proses jual beli barang dan jasa. Petani menanam dan memelihara tanaman serta kemudian menjual hasilnya di pasar. Sebagai imbal baliknya, petani mendapatkan untung. Uang hasil menjual panenan digunakan untuk hidup, menabung dan investasi. Dalam konteks kehidupan pedesaan, menabung dianggap berbeda dengan investasi. Bagi kita di perkotaan, menabung di bank merupakan investasi sekaligus karena dengan menabung di bank kita mendapatkan imbal balik berupa bunga. Di desa tersebut, masyarakat masih sering menabung di bawah kasur untuk keperluan mendadak dan savings untuk masa depan. Seorang petani misalnya mendapatkan untung yang kemudian ia tabung di bawah kasur untuk keperluan mendadak dan pemeliharaan tanaman beserta kegiatan sosial kemasyarakatan. Tabungan tersebut lama-lama banyak dan kemudian petani berinvestasi dalam bentuk anak sapi dan kambing yang ia pelihara. Investasi berupa sapi akan mengalami akumulasi modal, yang kelak bisa menjadikan petani tersebut sebagai pengusaha. Rekan saya akhirnya menyimpulkan bahwa masyarakat kapitalisme telah terbentuk di desa tersebut karena keberhasilan petani dalam membentuk usaha dan mengakumulasikan modal beserta pertumbuhan ekonomi membawa dampak pada keberhasilan usahanya. Ia juga memberikan contoh beberapa pengusaha yang muncul di desa tersebut yang akhirnya bukan hanya menjadi petani, namun tumbuh menjadi pengusaha kecil dan membesar menjadi sebuah usaha besar yang menggurita dan akhirnya terjadi trickle effect pada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Rekan saya, si sosialis kemudian menutarakan analisisnya mengenai kehidupan sosial di desa tersebut yang harmonis karena kental akan nuansa kebersamaan. Ia menganggap bahwa bibit-bibit masyarakat komunal-sosialis ada di desa tersebut. Ia tidak melihat dengan kacamata yang dipakai oleh rekan saya yang kapitalis, namun ia melihat gotong-royong dan kebersamaan dimana di dalamnya terdapat rasa senasib sepenanggungan. Di desa tersebut semuanya berbagi, apabila ada yang kesulitan, maka yang lain akan membantu dengan suka cita. “Tidak ada kepemilikan individu”, kata teman saya. Apabila di desa tersebut ada yang membutuhkan angkutan, maka yang memiliki truk bersedia meminjamkan kepada yang membutuhkan tanpa dipungut biaya sedikitpun. Namun, dibalik itu, ia melihat adanya bibit-bibit kapitalisme dimana petani meningkat kesejahteraan dan mendirikan usaha. Usaha tersebut berhasil dan memunculkan adanya akumulasi modal. Ia melihat bahwa akan terjadi dialektika sejarah dalam tatanan masyarakat yang berakibat pada munculnya buruh tani dan tuan tanah dimana tuan tanah akan memanfaatkan buruh tanah untuk kepentingan akumulasi modalnya. Setelah terjadi pemanfaatan tersebut, maka akan muncul perlawanan buruh tani sebagai anti-tesis struktur sistem borjuis. Setelah itu akan muncul sebuah sintesa akan masyarakat yang sosialis dan komunis, yaitu sebuah kondisi idiil suatu masyarakat.
Setalah mengutarakan pendapatnya, akupun kemudian “dipaksa” untuk menganalisis dari sudut pandang saya mengenai masyarakat tersebut. Akupun kemudian memulai “ocehan-ku” mengenai apa yang aku lihat. Aku awali dengan pertanyaan sederhana, “bolehkah kita melihat dari sudut pandang lain selain yang kalian berdua telah utarakan ?”. Dalam pandangan saya, apakah harus sudut pandang mengenai sistem ekonomi dan sosial dilihat dengan kacamata biner seperti halnya mengkategorikan menjadi kapitalis dan marxis ? Bukankah istilah kapitalis dan marxis adalah sebutan bagi orang-orang yang diluar kedua kelompok yang telah disebutkan itu ? Adam Smith tidak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah seorang kapitalis, atau apakah Karl Marx pernah mengatakan bahwa dia adalah seorang marxis ? Keduanya tidak pernah mengidentifikasikan diri mereka sebagai representasi dari dua kubu ideologi yang terlibat Perang Dingin paska Perang Dunia II. Itu sama saja mengatakan bahwa dua orang manusia bernama Darmawan dan Utomo yang memiliki pandangan yang berbeda dalam wacana mengatakan, “saya seorang Darmawanis” atau “saya seorang Utomois”. Seorang Soekarno saja mengidentifikasi dan mendeklarasikan konsep kerakyatannya sebagai Marhaenis, bukannya Soekarnois. Hal itu disebabkan karena istilah Soekarnois adalah sebutan bagi orang-orang diluar Soekarno yang belakangan menggunakan pandangan dan pemikiran Soekarno yang ada dalam buku dan terbitan Soekarno.

 

Aku kemudian melanjutkan diskusi itu dengan bertanya, “mungkinkah ada jalan yang ketiga ?”, yang bukan hanya “ideologi yang serba bukan” sebagaimana yang disematkan pada Pancasila. Setelah era reformasi, ideologi Pancasila dikontestasikan dengan ideologi dan isme lain, namun diposisikan sebagai ideologi lemah, banci dan impoten. Pancasila sejak saat itu menjadi artefak masa lalu. Apabila kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme bisa menjadi “besar” karena kontestasi antara dua kubu besar di era Perang Dingin sehingga tanpa sadar kita mengadopsi tanpa reserve tanpa melihat akar kemunculan serta kesesuaian dengan realitas saat ini.
Apakah kita akan percaya begitu saja dengan kapitalisme yang telah menghisap darah dan sumber daya untuk kepentingan para pemilik modal. Ataukah akan mengadopsi sosialisme-komunisme yang memandang bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang tidak memiliki kepemilikan pribadi dan untuk mewujudkannya dilakukan pembentukan “communist-state” melalui kekuasaan diktator proletariat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar