Minggu, 02 Maret 2014

Apakah sebenarnya Realitas itu ?

Malam ini aku merenungkan tentang apa yang manusia sebut sebagai sebuah realitas ? Apakah realitas itu bebas ? Ataukah realitas dipengaruhi oleh nilai yang kita anut ? 

Value-free versus value-leiden atau apabila diterjemahkan dimaknai, bebas nilai lawan dipengaruhi nilai.

Apakah realitas yang kita lihat dipengaruhi nilai ataukah bebas nilai, subyektif versus obyektif ?

Ketika saya mengunjungi karyawan administratif kantor yang mengalami serangan jantung, sayapun terkesima dengan apa yang saya lihat. Ia terserang penyakit jantung dua minggu yang lalu dan harus menginap di rumah sakit selama kurang lebih seminggu.

Aku keluar masuk gang sempit hanya untuk sampai di rumahnya yang terletak di dalam kampung di pereng sungai di belakang sebuah mall. Tempat tinggalnyapun sempit dengan dua kamar yang ditinggali oleh orang tua, dia sendiri dan istri beserta anaknya. Amat sangat sederhana untuk seseorang yang terserang penyakit mahal seperti jantung koroner.

Melihat "realitas" itu akupun kasihan melihat dia. Sebagai seorang pegawai dengan golongan rendah, aku kasihan melihat kondisi dia. Aku tidak bisa melihat "realitas" itu dengan ke-dingin-an seorang positivistik yang melihat kejadian itu sebagai konsekuensi logis perbuatan dia sebagai seorang perokok dan seorang peminum kopi. Apabila aku melihat fenomena itu dalam "dingin"-nya analisis barangkali aku menilai bahwa apa yang dia alami adalah konsekuensi dari gaya hidup dia yang tidak sehat. Sebuah analisis yang obyektif dan "dingin"

Rutinitas yang dijalani oleh pegawai tersebut bisa dilihat sebagai urutan logis. Pagi hari ia berangkat ke kantor yang jaraknya 7 kilometer dengan mengendarai motor. Sampai di kantor langsung merokok dan minum kopi sebelum mengerjakan pekerjaan administratif. Siang hari dia kadang makan dan kadang tidak, tergantung sibuk tidaknya pekerjaan. Sering sekali dia makan di warung yang menyajikan masakan bersantan. Sehabis makan dia merokok dan minum kopi untuk kemudian menyelesaikan pekerjaan lagi. Begitulah rutinitas pekerjaan dia.

Apabila melihat dengan subyektivitas empatif, apa yang terjadi pada dia itu sebuah musibah. Namun aku melihat bahwa kondisi dia adalah sebuah konsekuensi dari sebuah sistem yang tidak adil. Ia kerja dengan beban yang berat, dengan tekanan yang juga tinggi, permasalahan ekonomi yang membelit sehingga ketika sakit saja hampir dia tidak bisa menebus obat dan hampir tidak diperbolehkan keluar dari rumah sakit karena tidak bisa membayar biaya.

Bagi sebagian besar orang pasti akan melihat realitas itu sebagai realitas kemanusiaan. Meski demikian beberapa orang akan melihatnya berbeda. Misalnya, realitas yang menimpa pegawai tersebut adalah konsekuensi dari apa yang telah ia perbuat. 

Realitas manakah yang benar ? Kausalitas mana yang dianggap sebagai sebuah untaian realitas ?

Bashar, seorang teosofis menggunakan terma "intransitive dimention" dan "transitive dimention". Dimensi intransitif adalah dimensi segala kausalitas di luar diri kita yang tidak dipengaruhi oleh persepsi kita dalam melihat kejadian di luar kita.  Sebaliknya, dimensi transitif adalah dimensi segala kausalitas di luar diri kita yang DIPENGARUHI oleh persepsi kita dalam melihat kejadian di luar kita. Misalnya, kejadian apel jatuh dari pohon yang dilihat oleh seorang ilmuwan sehingga muncul hukum gravitasi. Dalam kasus itu, sang pengamat/ilmuwan melihat adanya "sesuatu kausalitas" yang ia lihat. Jadilah knowledge sang ilmuwan yang kemudian setelah diuji-coba, maka muncullah sebuah HUKUM yang dianggap sebagai sebuah HUKUM ALAM atau paling tidak persepsi kita akan hukum alam yang bekerja pada apel itu. Lalu kemudian muncullah TEORI GRAVITASI.
Apakah tanpa "interpretasi' dari seorang manusia, kejadian-kejadian alamiah yang terjadi di semesta ini memiliki HUKUM HUKUM sebagaimana kemunculan TEORI GRAVITASI. Maksud saya, sebelum ada seorang ilmuwan yang "cukup gila" untuk mengamati kejadian alam, apakah HUKUM GRAVITASI itu tidak ada dan baru ada setelah DIDEKLARASIKAN dan diuji coba sehingga menjadi sebuah teori ? Maka disinilah yang disebut sebagai DIMENSI TRANSITIF.

Kembali ke kasus pegawai kantorku, sebelum seseorang cukup waktu dan daya upaya untuk mendeklarasikan bahwa seorang pegawai sengsara dan memerlukan JAMINAN KESEHATAN maka apa yang terjadi pada pegawai-pegawai seperti pegawai kantor di atas belum menjadi suatu REALITAS TRANSITIF. REALITAS INTRANSITIF yang terjadi adalah, akan terjadi kausalitas yang entah seperti apa bentuknya terjadi. Inilah yang dilihat oleh SOCIAL SICENCE yang melihat fenomena sosial beserta kausalitasnya.

REALITAS yang kita lihat barulah menjadi sebuah REALITAS TRANSITIF ketika kita melihatnya.
Das Ding An Sich atau the reality in itself alias semua tergantung dari siapa yang melihatnya. 

Realitas tidak bebas nilai, sebagaimana seorang positivist mengatakan. Begitu pula SAINS beserta TEKNOLOGI yang tercipta setelah REVOLUSI SAINS. REVOLUSI SAINS yang memunculkan positivisme dalam NATURAL SCIENCE/sains alam menyebabkan manusia melihat dunia yang transitif. Dengan adanya obyektivisme dan positivisme, maka sudut pandang dunia positivist menguasai dunia. Mengalahkan sudut pandang dunia Timur dalam melihat semesta.

NATURAL SCIENCE menemukan bentuknya dan sampai sekarang sudah bisa dikatakan TIDAK TERBANTAHKAN dalam melihat REALITAS yang dia indra. Sebaliknya SOCIAL SCIENCE belum menemukan bentuknya dan sampai sekarang masih TERBANTAHKAN terutama dalam epistimologi. Hal ini disebabkan karena REALITAS OBYEK adalah manusia yang masing-masing memiliki kekhasan. Lagipula akan sangat mudah untuk mengambil OBYEK kajian SAINS ALAM dan dimasukkan dalam lab untuk diobservasi kausalitasnya. Berbeda dengan SOCIAL SCIENCE yang tidak memungkinkan OBYEK kajian untuk dimasukkan dalam lab dan diobservasi. Begitupun untuk mendefinisikan relasi antar OBYEK adalah susah, karena masing-masing obyek memiliki pola pengorganisasian tersendiri dan sukar diprediksi.

Oleh karena itu, adalah sukar sekali melihat REALITAS SOSIAL sebagaimana kasus pegawai sakit jantung dengan menggunakan kacamata NATURAL SCIENCE yang digunakan oleh dunia medis yang hanya melihat gejala-gejala natural, tanpa melihat gejala sosial. Barangkali sang dokter hanya akan mendiagnosa dan memberikan saran, "berhenti merokokdan ngopi" karena gejala faali mengatakan bahwa jantungnya lemah. Tapi mungkinkah ilmu kedokteran an sich melihat kausalitas lain dari sisi sosial maupun dari sisi pengobatan alternatif yang barangkali akan melihat kausalitas realitas dengan kacamata yang berbeda.....

This is the age of complexity.......the causality as well as the consequence is difficult to predict....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar