Senin, 31 Maret 2014

Matematika Terapan dan Terapan Kehidupan



Pernahkan kita mendengar istilah matematika terapan ? Khususnya dalam kajian mengenai Operations Research ? Mungkin aku adalah salah satu dari ratusan juta manusia yang berkesempatan untuk mempelajari Operations Research dalam aplikasi industri. Namun apabila aku berfikir dalam ranah yang lebih tinggi (higher order thinking), Operations Research cukup membantuku untuk tetap berada pada higher order thinking dan lower order thinking (operational) sekaligus. Tidak mungkin sebuah cita-cita tanpa dibarengi dengan pendefinisian goals dan objective

Salah satu kajian dalam Operation Research adalah Goal Programming. Goal Programming merupakan metode untuk memodelkan secara matematis tujuan yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan kendala-kendala sumber daya untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam istilah aslinya, tujuan disebut sebagai Objective sedangkan kendala disebut sebagai Subject to. Metode ini sering digunakan pada aplikasi ekonomi dan industri dimana pemaksimalan tujuan (baik meminimalkan maupun memaksimalkan) harus mempertimbangkan dan mendefinisikan sumber daya yang ada, sehingga diperoleh kombinasi optimal sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

Ada sebuah pertanyaan yang bunyinya, “do you wanna have a meaningful life, or do you wanna have a successful life ?”. Seakan kita digiring pada pandangan bahwa untuk memperoleh makna dalam hidup ini, maka harus mengorbankan kesuksesan di dunia. Atau, untuk mengejar kesuksesan di dunia ini, kita harus mengorbankan hidup yang penuh makna dan warna. Inilah yang sering menjadikan seorang idealis hidupnya mengenaskan, sedangkan seorang realis susah untuk mencari makna dan hikmah. Namun sebenarnya titik optimal antara keduanya adalah mampu mencari makna hidup sekaligus mendefinisikan goal dan objective secara operasional. 

Barusan aku mengalami kejadian, dimana sebuah cita-cita kandas di sebelum jalan karena terdapat kendala-kendala yang tidak dapat dirubah. And then, aku berfikir, apakah aku ini terlalu tinggi dalam bercita-cita ? Soekarno pernah berkata, “gantungkanlah cita-cita-mu setinggi langit”. Kapankah sebuah cita-cita hanyalah sebuah cita-cita tanpa realitas dan kapankah sebuah cita-cita bisa menjadi sebuah realitas ? Hal inilah tentu memerlukan keterstrukturan operational untuk mewujudkannya ? Apakah kendala tersebut dapat dikembangkan ? Ataukah dengan sumber daya yang ada dapat memperoleh hasil yang maksimal ?

Dalam kehidupan sehari-hari, kitapun memiliki tujuan yang ingin dicapai, apakah itu ingin mendirikan usaha, ingin melanjutkan perkuliahan, dan lain sebagainya. Meski goal programming hanya berguna pada kasus dimana sumber daya dapat dikuantifikasi menjadi fungsi biaya dan fungsi produksi, namun filosofi dasarnya dapat digunakan dalam melihat bagaimana kita bisa mencapai tujuan dan bagaimana kita mendefinisikan kendala sumber daya yang dimiliki.

Maksimalkan : Z = ………
Kendala :
·         Keuangan : …….
·         Waktu : …………..
·         Sumber daya material : …….
·         Syarat non-negatif : (karena sumber daya tidak boleh 0)

Untuk dapat memaknai kehidupan, maka harus mengejar tujuan-tujuan yang bermakna. Untuk itu diperlukan higher order thinking mengenai the purpose of life. The purpose of life apabila diterjemahkan dalam goals kehidupan apa sajakah ? Sudah tentu masing-masing individu memaknai hidup berbeda-beda. Pun, masing-masing individu yang memaknai kehidupan dengan cara yang sama-pun akan berbeda dalam merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.

Misalnya, purpose of life adalah menjadi insan yang berguna bagi masyarakat. Dus, dengan cara apakah mencapai purpose itu ? Misal, dengan mendirikan tempat ibadah, dengan menyantuni anak yatim, atau dengan menebarkan kebajikan-kebajikan. Apakah sumber daya yang kita miliki itu sesuai untuk tujuan itu ? Ketika purpose of life sudah ditentukan, maka dengan apakah kita akan mencapai itu ?



Bagi saya, tetap saja untuk memperoleh purposeful life, harus melihat sumber daya yang ada. Untuk mencapai purposeful life, maka harus ada Goals dalam kehidupan ini. Dan untuk mencapai Goals diperlukan objective dengan kuantifikasi kendala yang ada, sehingga bisa memperluas kendala (melebarkan rentang batasan kendala dengan ekstensifikasi) maupun dengan mengintensifkan usaha di dalam batasan kendala yang ada.

Sabtu, 29 Maret 2014

Ratu Adil : The Emergence of Grassroot Movement (2)

Dari perenungan tentang kopi inilah aku kemudian menghubungkan dengan konsep Ratu Adil yang kesohor di seluruh Nusantara. Kali ini aku menikmati kopi Robusta Menoreh yang berasal dari daerah Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku memilih kopi ini karena saran dari sang barista, Tubagus Ilham, dengan alasan asam lambungku baru kumat. Secara karaktersitik varietas, kopi robusta atau sering disebut juga canephora memiliki kadar asam lebih rendah dibandingkan kopi arabica, namun kadar kafein robusta lebih tinggi dari arabika. 

Bukan karena kebetulan pada saat ini aku menikmati robusta Menoreh. Ketika menyeruputnya, aku teringat seorang pejuang, Pangeran Diponegoro, yang melakukan perjuangan melawan Hegemoni pemerintah Hindia-Belanda. Beliau beserta pengikut-pengikutnya menjadikan pegunungan Menoreh sebagai basis pertahanan. Meski pada akhirnya perjuangan fisik bisa dipadamkan pemerintah apartheid Hindia-Belanda, namun semangatnya masih terasa dan menggema dalam keabadian. 

Pangeran Diponegoro ketika dilahirkan diberi naman Ontowiryo ‘diramal’ oleh kakek buyutnya, Sultan Hamengku Buwono I, akan menjadi seorang yang besar. Sinuhun HB I meramalkan Ontowiryo akan menjadi Herucokro atau Ratu Adil. Oleh sebab itu, Sultan meminta istrinya, Ratu Ageng, untuk mendidik dan membesarkan Ontowiryo. Dikarenakan perselisihan dengan anaknya, Sultan Hamengku Buwono II, yang kemudian menggantikan tahta ayahnya, Ratu Ageng memilih untuk memisahkan diri dari Kraton dan tinggal di Tegalrejo dengan membawa serta Ontowiryo. Pada saat itu kehidupan di keraton diwarnai budaya hedonistik yang dibawa oleh Belanda. Banyak sekali pangeran-pangeran pada era ini keluar dari lingkungan keraton dan menjadi santri diluar tembok keraton.

Ontowiryo dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa dengan akhlak Islami, Ontowiryo tumbuh menjadi sosok yang rendah hati, santun, cerdas sekaligus berani dan berakhlak mulia. Keyakinan terhadap nilai-nilai kebenaran dipegangnya dengan ditunjang dengan keterampilan berperang yang dilatih oleh paman-pamannya, menjadikan Ontowiryo tumbuh menjadi sosok yang kuat. Itulah sebabnya, ketika tidak ada satu pun yang berani menentang perintah Belanda yang sangat zalim, membiarkan dan melarang menguburkan sesosok mayat petani yang tidak membayar pajak di tengah lapang, Ontowiryo sendiri yang melakukannya. Perang Jawa yang kesohor dalam sejarah Jawa, dipimpin oleh tokoh ini. Meski kemudian tertangkap dan diasingkan, namun Perang Jawa ini menjadi salah satu sebab keuangan Hindia Belanda menipis.

Sekelumit kisah yang heroik di kawasan Menoreh ini memunculkan dalam benakku akan pentingnya sebuah gerakan yang berasal dari grass-root, sebagaimana gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro melawan kezaliman. Tentunya, perang fisik pada era dahulu berbeda dengan era sekarang. Jaman sekarang hampir sedikit sekali sebuah negara melakukan hegemoni melalui aneksasi dan perbudakan fisik. Namun perang dan perjuangan jaman sekarang adalah merubah sebuah sistem yang hegemonik secara ekonomi dan informasi. Di era globalisasi sekarang ini, kedaulatan ekonomi kita dikuasai oleh pemilik modal yang sangat besar, sehingga kita sebagai sebuah bangsa dikebiri identitasnya dalam lingkup global untuk sebuah "kemakmuran bersama" yang dijanjikan oleh globalisasi. Namun, apabila kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah merdeka ? Apakah kita sudah merdeka ketika untuk hidup layak saja harus bekerja bak robot dan budak ekonomi. Petani kita misalnya, bekerja keras untuk menghasilkan komoditas yang secara ekonomis rendah, dibeli oleh tengkulak kemudian diekspor ke negara maju. Hasil ekspor memang dapat mendatangkan devisa, namun siapakah yang mendapatkan nilai rente yang tinggi ? Rantai pasok komoditas pertanian yang diekspor tidak memasukkan petani sebagai pemasok sehingga ada asimetri dalam informasi. Sebaliknya, para petani kita membeli sarana produksi pertanian dan membeli kebutuhan hidup dengan harga yang tinggi, harus menyekolahkan anak mencapai pendidikan tinggi sehingga bisa hidup layak. Akhirnya sedikit sekali keturunan petani yang tidak bersedia menjadi petani lagi, karena petani dianggap sebagai pekerjaan kotor (peasant) yang memiliki konotasi negatif. 

Karena kita hidup di era global, dimana barrier antar negara harus dihilangkan untuk efisiensi dan efektivitas perdagangan international, yang pada akhirnya dikuasai oleh big-player yang memiliki sarana-prasarana dan jaringan multinasional. Lalu kemudian bersemangat untuk memproteksi hasil pertanian melalui indikasi geografis, yang bisa kita tebak tidak disertai dengan struktur pendukung yang memadai serta maintenance yang cukup dipertimbangkan. 

Lalu kemudian aku berfikir. Bisakah kita menggerakkan akar-rumput kita untuk memperbaiki keadaan dalam sistem yang tercipta dari atas-bawah ? Dalam globalisasi ini, kita "dipaksa" oleh sistem supra-nasional berupa jaringan korporasi multi-nasional untuk menerima konsep glokalisasi. Berdasarkan definisinya, maka glokalisasi adalah 

Glocalization serves as a means of combining the idea of globalization with that of local considerations. (Sumber Wikipedia)
Hal inilah yang menginspirasi perusahaan korporasi seperti McDonald memasukkan masakan Korea dalam menunya untuk menyesuaikan dengan lidah Korea. Tujuan dari glokalisasi adalah penetrasi pasar asing (diluar Amerika) sehingga jualan tetap laku.

Lalu, bagaimanakah kita sebagai sebuah bangsa yang selalu dikatakan "negara berkembang" ? Haruskah kita selalu didikte oleh kekuatan pemodal asing  ? Sanggupkah pemerintah kita melindungi rakyat kita dalam hal ekonomi ? Ataukah pemerintah telah menjadi agen asing dalam menancapkan kuku di Indonesia ?

Bangsa Indonesia baru merasakan kalau dijajah setelah era Kebangkitan Nasional, setelah para priyayi diberikan kesempatan pendidikan luar negeri. Butuh waktu yang panjang bagi sedikit sekali orang terdidik merasakan perlunya kemerdekaan. Dalam arti kata perlu learning atau pembelajaran dalam mengkristalisasi-kan perjuangan yang sebenarnya. Perjuangan dari para pejuang, Pangeran Diponegoro, Kapitan Pattimura, Tjut Nyak Dien, dan masih banyak nama-nama yang tersebut maupun yang tidak, yang energi perjuangannya menggema dalam keabadian Indonesia.

Apakah kita merasa bahwa kita sekarang terjajah secara ekonomi ? Mungkinkah inisiatif semacam IG bisa menjadi jembatan perjuangan ? 

Dalam kasus kopi Indonesia, sedang dilakukan sertifikasi Indigasi Geografis kopi Arabika. Sebuah awal dari proteksi ekonomi. Namun apakah proteksi tersebut dapat menggema sampai akar-rumput untuk menunjukkan taringnya dalam perjuangan ekonomi Indonesia ?

Jumlah produksi robusta Menoreh masih sedikit dan masih jauh dari inisiatif Indikasi Geografis, namun sebuah potensi pengembangan wilayah yang berbasis akar rumput merupakan sesuatu hal yang sangat mungkin dilakukan. Selama ini pendekatan rural development lebih banyak menggunakan pendekatan struktur atas-kebawah dan kurang dengan pendekatan dari bawah-atas. Di era globalisasi ini, masyarakat pedesaan paling tidak memiliki dua keunggulan dibanding masyarakat perkotaan, yaitu kohesivitas kelompok dan indigenous knowledge (pengetahuan lokal). Meski di era global, beberapa pakar pedesaan mengatakan bahwa kohesivitas dan pengetahuan lokal sudah semakin tergerus, namun hal ini tergantung untuk setiap daerah. 

Sertifikat Indikasi Geografis (IG) yang selama ini hanya dipandang sebagai perlindungan legal berbasis TRIP (Trade Related Intelectual Property Right) atau hak atas kekayaan intelektual kolektif dapat digunakan sebagai trigger bagi pembangunan daerah berbasis akar rumput. Struktur sistem yang sedang atau akan dibentuk seyogyanya bisa memacu dan mengarahkan "emerging system" atau sistem yang muncul dari interaksi antar aktor-aktor yang ada di dalamnya yang memiliki tiga dampak sistemik, yaitu secara ekonomis, sosial dan lingkungan atau dalam istilah sekarang disebut sebagai "sustainable development". Namun sebenarnya ada atau tidaknya konsep pembangunan berkelanjutan atau "sustainable development" bangsa kita sudah memiliki Weltanschauung (pandangan hidup) yaitu Pancasila. 





Pertama, pembangunan grassroot harus didasarkan pada asas Ketuhanan dimana seluruh daya upaya semata-mata dilakukan karena keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, pembangunan grassroot didasarkan pada asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga didasarkan pada asas Persatuan Indonesia. Keempat, didasarkan pada asas Kerakyatan Yang Dipimpin Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Last but not least, asas kelima, yaitu Keadilan Sosial. 

Dunia sedang berubah secara global. Manusia Indonesia bisa mengakses informasi dari seluruh penjuru dunia. Hal itu sedikit banyak mempengaruhi bagaimana manusia Indonesia melihat dunia (Weltanschauung). Mungkinkah terwujud sebuah masyarakat madani Pancasilais yang memberdayakan masyarakat bawah ? Bukan sebuah masyarakat yang diper-daya-kan oleh kekuatan supra-nasional ? Sebuah potensi untuk menggerakkan grassroot movement untuk Indonesia mandiri. 







Jumat, 28 Maret 2014

Ratu Adil : The Emergence of Grassroot Movement (1)



Saat ini aku sedang duduk termenung di sebuah rumah kopi menikmati secangkir kopi single origin Arabika Kintamani Bali. Rumah kopi tersebut bernama "Rumah Kopi Ranin" yang terletak di Jalan Bangbarung No 23 kota Bogor.  Rumah kopi tersebut khusus menjual kopi "single-origin" asli Nusantara. Salah satu diantaranya adalah yang sedang aku nikmati. Aku menerawang jauh ke daerah penghasil kopi di daerah Kintamani Bali sana. Aku membayangkan proses pengolahan kopi mulai dari pemanenan hingga penyangraian sehingga dihasilkan kopi beraroma dan berasa khas Kintamani Bali.

Memang sepintas, tidak ada bedanya rasa antar varietas kopi yang dihidangkan di rumah kopi ini. Namun di rumah kopi inilah aku belajar bahwa masing-masing kopi berbeda satu sama lain dari sisi rasa dan aroma. Rumah kopi ini tidak hanya menjual kopi, namun menjual suasana dan pengetahuan tentang kopi. Salah satu pendiri rumah kopi, Uji Saptono, mengatakan bahwa rasa dan aroma kopi tidak terlepas dari penanganan bahan paska panen maupun pengolahannya. Dari pakar kopi inilah aku banyak belajar tentang kopi single-origin nusantara. Selain itu, rantai nilai kopi nusantara menghidupi petani kopi di daerah penghasilnya, sehingga interaksi dalam rantai nilai memunculkan dinamika harga, keadilan ekonomi, keberlanjutan terkhusus bagi petani dan bangsa Indonesia pada umumnya. Tejo Pramono Anung, juga pendiri rumah kopi Ranin menegaskan bahwasanya di dalam secangkir kehidupan yang kita minum, terdapat jejak-jejak kesejahteraan petani di dalamnya. Perlindungan petani dalam rantai nilai kopi diperlukan agar kesejahteraan petani terjada sekaligus nama dari kopi Indonesia menjadi semakin jaya.



Sembari menyeruput kopi, aku melakukan perjalanan di dunia maya untuk menemukan informasi tentang kopi Kintamani Bali. Salah satu komoditas unggulan kopi Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis. Pendaftaran kopi Kintamani tersebut dilakukan bersamaan dengan pembentukan jaringan kerjasama antar stakeholder yang bertujuan untuk melakukan proteksi dan valorisasi kopi tersebut. Hal yang sangat mengejutkan bagi aku adalah, indikasi geografis selain bisa digunakan untuk melindungi produk berbasis geografis dapat juga memunculkan suatu kolaborasi berbasis masyarakat akar rumput di suatu daerah. 

Selama ini, petani dalam rantai pasok kopi hanyalah produsen yang menjadi penonton dalam percaturan bisnis kopi. Sebagaimana komoditas pertanian lainnya, yang dianggap sebagai pelaku adalah pedagang perantara yang memasok ke pembeli. Meski panjang rantai pasok beragam, namun petani tetap saja dianggap diluar rantai pasok, sehingga terbentuklah "exclusive supply chain". Dengan tidak adanya keterlibatan petani dalam rantai pasok, terjadilah apa yang disebut "information assimetry" dalam rantai pasok kopi. Dengan demikian, kualitas banyak didikte oleh pemegang trademark dagang, yaitu perusahaan pembeli. 

Dengan adanya kopi berindikasi geografis dengan masyarakat pemangku indikasi geografis sebagai pemilik sertifikat IG dapat memiliki taring dalam bersaing di dunia internasional. Namun demikian, beberapa hal perlu diperhatikan dalam  penerapan sertifikat IG, yaitu adanya dukungan institusi pengambil kebijakan, sistem traceability atau penelurusan dan kolaborasi dengan masyarakat adat. Dalam kasus Kintamani yang memiliki kohesivitas kelompok adat yang tinggi hal ini menjadi keuntungan tersendiri. Pertanyaan selanjutnya, apakah indikasi geografis pada kopi unggulan lain akan memiliki kesamaan dengan kondisi di Bali. Apakah indikasi geografis pada komoditas lain akan berhasil ?

Komoditas kopi sudah mendunia sejak era kolonialisme, sehingga di pasar dunia telah memiliki pangsar tersendiri tinggal bagaimana "mendidik" konsumen penikmat kopi. Sedangkan pada komoditas lain seperti Salak Pondoh Sleman, Ubi Cilembu dan masih banyak lain apakah memiliki prospek cerah. Perlu kajian mengenai bagaimana meningkatkan "kasta" dari hasil pertanian dari sekedar komoditas yang indeferen dengan nilai rendah menjadi produk spesifik dan khas. Apabila kondisi kopi Arabika Kintamani memiliki kondisi awal kopi sebagai komoditas global dan nama Bali memiliki reputasi tersendiri. Bagaimanakah dengan kopi dari daerah laen dan komoditas spesifik geografis lain yang sekarang sedang mengantri untuk disetujui sertifikat IG ? Langkah apa yang harus dilakukan ? (BERLANJUT)


Rabu, 26 Maret 2014

Dialektika Realitas (1)



Pernahkah kita merenungkan secara mendalam bahwa apa yang kita lihat dari “realitas” diluar kita adalah bentukan dari conceptual model diri kita akan hal-hal yang ada di luar diri kita ? Pernah saya terlibat diskusi dengan dua orang rekan, seorang berideologi kapitalis dan seorang lainnya berideologi sosialis. Apa yang saya lihat dari fenomena tersebut sungguh mencengangkan. Saat itulah aku menyadari betapa keduanya melihat obyek yang sama, namun dengan interpretasi berbeda. Suatu saat kami mengunjungi sebuah desa di lereng gunung berapi. Kamu mengamati kegiatan-kegiatan beserta kehidupan ekonomi dan sosial yang ada di dalamnya.



Setelah kami berkeliling dan menginap beberapa hari di rumah rakyat pedesaan, kami terlibat diskusi yang serius mengenai kehidupan di desa tersebut. Rekan saya yang kapitalistik melihat aktivitas perekonomian beserta peran masing-masing anggota masyarakat tersebut. Di desa tersebut terdapat pembagian peran atau dalam istilah rekan saya tersebut, spesialisasi kerja dimana masing-masing individu benar-benar profesional di dalamnya. Di pasar desa tersebut terdapat proses jual beli barang dan jasa. Petani menanam dan memelihara tanaman serta kemudian menjual hasilnya di pasar. Sebagai imbal baliknya, petani mendapatkan untung. Uang hasil menjual panenan digunakan untuk hidup, menabung dan investasi. Dalam konteks kehidupan pedesaan, menabung dianggap berbeda dengan investasi. Bagi kita di perkotaan, menabung di bank merupakan investasi sekaligus karena dengan menabung di bank kita mendapatkan imbal balik berupa bunga. Di desa tersebut, masyarakat masih sering menabung di bawah kasur untuk keperluan mendadak dan savings untuk masa depan. Seorang petani misalnya mendapatkan untung yang kemudian ia tabung di bawah kasur untuk keperluan mendadak dan pemeliharaan tanaman beserta kegiatan sosial kemasyarakatan. Tabungan tersebut lama-lama banyak dan kemudian petani berinvestasi dalam bentuk anak sapi dan kambing yang ia pelihara. Investasi berupa sapi akan mengalami akumulasi modal, yang kelak bisa menjadikan petani tersebut sebagai pengusaha. Rekan saya akhirnya menyimpulkan bahwa masyarakat kapitalisme telah terbentuk di desa tersebut karena keberhasilan petani dalam membentuk usaha dan mengakumulasikan modal beserta pertumbuhan ekonomi membawa dampak pada keberhasilan usahanya. Ia juga memberikan contoh beberapa pengusaha yang muncul di desa tersebut yang akhirnya bukan hanya menjadi petani, namun tumbuh menjadi pengusaha kecil dan membesar menjadi sebuah usaha besar yang menggurita dan akhirnya terjadi trickle effect pada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Rekan saya, si sosialis kemudian menutarakan analisisnya mengenai kehidupan sosial di desa tersebut yang harmonis karena kental akan nuansa kebersamaan. Ia menganggap bahwa bibit-bibit masyarakat komunal-sosialis ada di desa tersebut. Ia tidak melihat dengan kacamata yang dipakai oleh rekan saya yang kapitalis, namun ia melihat gotong-royong dan kebersamaan dimana di dalamnya terdapat rasa senasib sepenanggungan. Di desa tersebut semuanya berbagi, apabila ada yang kesulitan, maka yang lain akan membantu dengan suka cita. “Tidak ada kepemilikan individu”, kata teman saya. Apabila di desa tersebut ada yang membutuhkan angkutan, maka yang memiliki truk bersedia meminjamkan kepada yang membutuhkan tanpa dipungut biaya sedikitpun. Namun, dibalik itu, ia melihat adanya bibit-bibit kapitalisme dimana petani meningkat kesejahteraan dan mendirikan usaha. Usaha tersebut berhasil dan memunculkan adanya akumulasi modal. Ia melihat bahwa akan terjadi dialektika sejarah dalam tatanan masyarakat yang berakibat pada munculnya buruh tani dan tuan tanah dimana tuan tanah akan memanfaatkan buruh tanah untuk kepentingan akumulasi modalnya. Setelah terjadi pemanfaatan tersebut, maka akan muncul perlawanan buruh tani sebagai anti-tesis struktur sistem borjuis. Setelah itu akan muncul sebuah sintesa akan masyarakat yang sosialis dan komunis, yaitu sebuah kondisi idiil suatu masyarakat.
Setalah mengutarakan pendapatnya, akupun kemudian “dipaksa” untuk menganalisis dari sudut pandang saya mengenai masyarakat tersebut. Akupun kemudian memulai “ocehan-ku” mengenai apa yang aku lihat. Aku awali dengan pertanyaan sederhana, “bolehkah kita melihat dari sudut pandang lain selain yang kalian berdua telah utarakan ?”. Dalam pandangan saya, apakah harus sudut pandang mengenai sistem ekonomi dan sosial dilihat dengan kacamata biner seperti halnya mengkategorikan menjadi kapitalis dan marxis ? Bukankah istilah kapitalis dan marxis adalah sebutan bagi orang-orang yang diluar kedua kelompok yang telah disebutkan itu ? Adam Smith tidak pernah mengatakan bahwa dirinya adalah seorang kapitalis, atau apakah Karl Marx pernah mengatakan bahwa dia adalah seorang marxis ? Keduanya tidak pernah mengidentifikasikan diri mereka sebagai representasi dari dua kubu ideologi yang terlibat Perang Dingin paska Perang Dunia II. Itu sama saja mengatakan bahwa dua orang manusia bernama Darmawan dan Utomo yang memiliki pandangan yang berbeda dalam wacana mengatakan, “saya seorang Darmawanis” atau “saya seorang Utomois”. Seorang Soekarno saja mengidentifikasi dan mendeklarasikan konsep kerakyatannya sebagai Marhaenis, bukannya Soekarnois. Hal itu disebabkan karena istilah Soekarnois adalah sebutan bagi orang-orang diluar Soekarno yang belakangan menggunakan pandangan dan pemikiran Soekarno yang ada dalam buku dan terbitan Soekarno.

 

Aku kemudian melanjutkan diskusi itu dengan bertanya, “mungkinkah ada jalan yang ketiga ?”, yang bukan hanya “ideologi yang serba bukan” sebagaimana yang disematkan pada Pancasila. Setelah era reformasi, ideologi Pancasila dikontestasikan dengan ideologi dan isme lain, namun diposisikan sebagai ideologi lemah, banci dan impoten. Pancasila sejak saat itu menjadi artefak masa lalu. Apabila kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme bisa menjadi “besar” karena kontestasi antara dua kubu besar di era Perang Dingin sehingga tanpa sadar kita mengadopsi tanpa reserve tanpa melihat akar kemunculan serta kesesuaian dengan realitas saat ini.
Apakah kita akan percaya begitu saja dengan kapitalisme yang telah menghisap darah dan sumber daya untuk kepentingan para pemilik modal. Ataukah akan mengadopsi sosialisme-komunisme yang memandang bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang tidak memiliki kepemilikan pribadi dan untuk mewujudkannya dilakukan pembentukan “communist-state” melalui kekuasaan diktator proletariat.

Jumat, 07 Maret 2014

Gravitasi itu (dulu) ghoib loh......

Adalah Newton yang bisa melihat ke-ghoib-an gravitasi pada sebuah apel, yang kemudian ia jadikan "nyata" menjadi sebuah hukum.

Semua dari kita tentunya sudah biasa melihat benda jatuh dari atas ke bawah. Ke-jenius-an Newton terletak pada apa yang ia lihat pada suatu fenomena dan kemudian membuktikan keberadaannya. Sebenarnya hukum gravitasi bukanlah hukum yang dibuat oleh Newton. Ia hanya melihat, membuktikan keberadaannya dan membuat hukum mengenainya. 



Archimedes, menemukan Hukum Archimedes ketika ia sedang mandi di pemandian Syracuse. Ia waktu itu sedang bingung memikirkan bagaimana menghitung volume benda tidak beraturan. Ia mencoba mengukur dengan formula yang telah ada, namun buntu. Dalam kebingungannya ia mandi di pemandian umum, tidak sengaja air yang ada di bath-tub tumpah ketika ia masuk ke dalamnya. "Eureka" dia bilang. Momentum yang bersejarah itu menggema di dalam keabadian.Natural science atau ilmu alam, sudah mengalami tahapan kedewasaannya. Tidak ada ilmuwan yang akan mengatakan bahwa Hukum Newton maupun Archimedes itu salah. Jadilah ilmu alam sebagai ilmu pasti yang tidak diragukan lagi. 

Jadilah judul tulisan ini sebagai "Gravitas itu (dulu) ghoib loh....". Ketika sesuatu yang dilihat di jagad raya ini dapat dibuktikan keberadaannya, divalsifikasi, dimodelkan matematis, maka sah menjadi sebuah hukum. Begitu pula Hukum Gelombang Cahaya de Broglie yang kesohor itu.

Muncullah istilah sudut pandang positivistik dalam melihat semesta. Nature science dipandang sebagai positivist science atau sains positivist dimana sang pengamat menggunakan sudut pandangnya dalam memandang semesta. Sains alam mengalami perkembangannya sejak revolusi sains dimana perkembangan teknologi dipengaruhi sudut pandang positivistik.

Dalam ilmu alam, obyek yang diamati si pengamat adalah benda mati yang dipengaruhi oleh hukum alam. Berbeda dengan social science atau ilmu sosial yang obyek amatan adalah manusia yang memiliki kebebasan dalam bertindak. Sudut pandang positivistik dipandang sangat mempengaruhi social science sampai suatu waktu muncul era post-modern yang melakukan dekonstruksi terhadap sudut pandang keilmuwan. Perkembangan industri dan ekonomi sejak revolusi industri dipandang oleh ilmuwan positivistik membawa dampak secara sosial dan lingkungan. Oleh karena itu proses perubahan paradigma keilmuwan membawa dampak pada kemungkinan munculya revolusi sains kedua dan revolusi industri kedua, dimana sisi awareness terhadap lingkungan dan sosial muncul dalam keilmuwan post-modern. Sehingga diharapkan kemunculan-kemunculan "ke-ghoib-an" baru di era yang akan datang.

Barangkali ke-ghoib-an yang tadinya tidak terkuat akan muncul. Ilmu lingkungan barangkali pada era industrial belum muncul. Ya, mari berharap kemunculan "hal-hal ghoib" yang membawa kebaikan pada dunia......

Mudah-mudahan ke-ghoib-an yang muncul adalah kesejahteraan dan keadilan sosial, yang selama ini ter-ghoib-kan dalam dunia modern......




Kamis, 06 Maret 2014

Tasawuf (1)

Seorang ulama tasawuf bernama Muhammad al-Ghazali pernah memberikan sedikit wejangannya mengenai indra manusia. Menurut beliau, indra manusia ada dua jenis, yaitu indra dlahir dan indra bathin. Indra dlahir ada lima, sebagaimana yang kita kenal sebagai kelima indera kita, yaitu penglihatan, pendengaran, pengecap, perasa dan pembau. Sedangkan indra bathin manusia ada lima pula yang beliau sebut sebagai :
  • the common-sense (al-hiss al-mushtarak),
  • the representation (al-quwwah al-khayaliyyah),
  • the estimation (al-quwwah al-wahmiyyah),
  • the retention-recollection (al-quwwah al-hafizah wa’l dhakirah)
  • the imagination (al-quwwah al-mutakhayyilah or al­mufakkirah)
Sedangkan al-Ghazali menyebutkan adanya tiga daya dalam diri manusia. Ketiga daya juga dimiliki oleh makhluk hidup lain semacam tumbuhan dan hewan. Tumbuhan memiliki daya syahwah atau hasrat, hewan memiliki daya syahwah yang dimiliki tumbuhan dan memiliki daya amarah atau gadhab. Sedangkan manusia memiliki saya syahwah dan gadhab sekaligus memiliki daya intelektual. 

Daya syahwah merupakan daya untuk melakukan reproduksi dan pertumbuhan sebagaimana yang dimiliki oleh tumbuhan, hewan dan manusia. Daya syahwah ini dapat dicontohkan adanya hasrat untuk meneruskan keturunan dan makan. Daya ghadhab disisi lain merupakan daya amarah untuk mempertahankan diri. Sedangkan daya intelektual hanya dimiliki oleh manusia untuk membedakan.

Ketiga daya dalam diri manusia memunculkan kebajikan apabila bisa seimbang sedangkan sebaliknya dalam kondisi tidak seimbang memunculkan sisi negatif. Fadhlallah Haeri seorang psikolog dan sufi kontemporer menjelaskan bahwa daya syahwah dalam bentuknya yang berlebihan memunculkan sifat jangak/memperturutkan hawa nafsu. Sedangkan apabila tidak ada daya syahwah maka akan memunculkan tidak adanya hasrat. Kebajikan yang muncul daripadanya adalah kesederhanaan. Daya gadhab, dalam bentuknya yang mendominasi memunculkan sifat kejam sedangkan dalam bentuk negasinya adalah kepengecutan. Kebajikan yang muncul dari keseimbangan adalah keberanian. Daya intelektual, dalam bentuknya yang mendominasi adalah terlampau berlebihan dalam sisi kognitif, sedangkan dalam bentuk negasinya adalah kebodohan. Kebajikan yang muncul dari keseimbangan daya ini adalah kebijaksanaan. Ketiga kebajikan tersebut membentuk kebajikan keempat yaitu keadilan.

Berbeda dengan tumbuhan dan hewan, manusia memiliki knowledge dan will.  Kedua kemampuan inilah yang merupakan kelebihan, sekaligus kelemahan manusia. Dalam kehidupan ini, manusia memiliki knowledge, yang merupakan pengalamannya hidup di dunia ini. Knowledge manusia diperoleh melalui menjalani kehidupan ini (ilmu iku anane kanthi laku, pengetahuan itu adanya dari amaliah). Will dimiliki manusia, sehingga manusia memiliki kehendak, sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh tumbuhan dan manusia. 

Namun, kedua kekuatan itu juga sekaligus kelemahannya, karena dengan kelebihan itu manusia bisa terjerumus kedalam kehancuran diri maupun masyarakat. Ketidakmampuan diri dalam menyeimbangkan dan mengendalikan kedua daya (syahwah maupun gadhab) akan menyebabkan daya intelektual turun untuk memuaskan keinginan kedua daya syahwah dan gadhab. Kemalasan akibat kurangnya daya syahwah akan membuat seorang manusia menjadi bodoh. Sebaliknya, syahwat yang berlebihan yang menyebabkan jangak, akan membawa daya intelektual untuk mengikuti keingingan-keinginan duniawiah, semisal mencari cara yang terbaik untuk melakukan kecurangan. Apa yang manusia pikirkan, kehendaki dan kemudian lakukan merupakan interaksi dari kelima indera dlahir, indra bathin dan ketiga daya tersebut. Kapasitas manusia berupa knowlegde dan will, akan membawa kerusakan pada diri dan lingkungannya. 

Namun, diatas kesemua itu, semua indera bathin dan indera dlahir, tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah sarana untuk mencapai Kesadaran Diri yang lebih tinggi.






Selasa, 04 Maret 2014

Antara Barat dan Timur : Sebuah dialektika dalam melihat realitas

Barat dan Timur yang aku maksud bukan Barat-Timur ala Perang Dingin. Namun Barat dan Timur dalam artian filosofi dan weltanschauung. Judul diatas ada terma dialektika, dimana dialektika disini mengacu dari dialektika ala Hegel dan bukannya ala Marx. 

Apabila Hegel melihat proses tesis-antitesis-sintesis dalam ranah thought, namun Marx menerjemahkan dialektika material, dimana dalam pandangan Marx dialektika terjadi dalam ranah sosial. Alhasil, ajaran Marx diterjemahkan Lenin dan Stalin untuk membentuk suatu masyarakat komunis tanpa kelas yang sangat mekanistik dimana manusia sebagai sistem sosial dikendalikan. Hal ini tidak ada bedanya dengan kapitalisme yang kemudian memandang alat ekonomi seperti mesin penghasil keuntungan sebagai sarana akumulasi modal. Sudut pandang mekanistik inilah yang kemudian mengabaikan sisi alamiah lingkungan alam dan lingkungan sosial. 

Kembali lagi pada Barat dan Timur, dewasa ini keduanya baru belajar satu sama lain. Apabila banyak anggota masyarakat yang dibesarkan dalam konstruk berfikir Barat belajar spiritualisme ke Timur, maka banyak anggota masyarakat yang dibesarkan dalam masyarakat Timur belajar konstruk berfikir Barat. Sedang terjadi proses dialektika pemikiran diantara keduanya dalam konteks global yang tidak dapat diprediksi.

Tradisi berfikir Barat yang positivistik-empirik kemudian berdialog dengan filosofi spiritualis Timur. Namun interaksi tersebut berlangsung dalam konteks global yang hedonistik, sebuah paradoks yang menarik untuk direnungkan. Terjadi pergulatan yang tidak linier dan mudah diprediksi. Ketika mega-korporasi menguasai dunia melalui akumulasi modal dan penghisapan sumber daya alam, muncul suatu titik balik peradaban dimana filosofi Timur muncul untuk "mengingatkan" betapa hedonistiknya sistem kapitalisme.Bahwa beserta semakin mengglobalnya kapitalisme dan penghisapan sumber daya alam, muncul kesadaran lingkungan dan sosial. Sebuah paradoks yang kita tidak akan tahu akhirnya. Suatu kontestasi yang menarik apabila muncul konsep yang dapat mengimbangi kerakusan kapitalisme, karena munculnya konsep tandingan tersebut merupakan sesuatu hal yang alamiah dan menjadi sebuah keniscayaan.

Spiritualitas dan weltanschaaung Timur sangat menarik untuk dikaji, karena "kedekatannya" dengan alam dan keseimbangan di dalam masyarakat. Tradisi ketimuran disini dapat dilihat pada tradisi di Asia Timur maupun Asia Tenggara. Tradisi Timur menekankan pada balance di dalam diri, masyarakat dan semesta.

Sayang, dialektika Barat-Timur hanya terjadi pada level pemikiran dan filosofi, belum pada terbentuknya sistem yang menjadi anti-tesa sistem kapitalisme global. Harapannya, dialektika pada level masyarakat berlangsung damai dan tidak berdarah, tidak seperti terjadi pada saat revolusi-revolusi sosial ala komunis. Kemunculan sebuah sistem ekonomi kemasyarakatan yang sustainable diperlukan untuk "melawan" hegemoni kapitalisme mega-korporasi. Sebuah sistem yang berbasiskan pada konsepsi sistem yang soft. Pendekatan yang digunakan menggunakan kombinasi "regulated-emergence". Oleh karena itu, pendekatan ala demonstrasi dan pengerahan masa sudah menjadi obsolete. Sebuah gerakan perlawanan hanya dapat dilakukan dengan gerakan grass-root innovation. Gerakan ini justru harus dimulai dari pedesaan melalui inovasi akar rumput, menuju kemandirian ekonomi dan sosial. Selama ini hubungan kota-desa dipandang sebagai hubungan patron-client yang menjadikan desa hanya sebagai pelengkap penderita.