Dari perenungan tentang kopi inilah aku kemudian menghubungkan dengan konsep Ratu Adil yang kesohor di seluruh Nusantara. Kali ini aku menikmati kopi Robusta Menoreh yang berasal dari daerah Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku memilih kopi ini karena saran dari sang barista, Tubagus Ilham, dengan alasan asam lambungku baru kumat. Secara karaktersitik varietas, kopi robusta atau sering disebut juga canephora memiliki kadar asam lebih rendah dibandingkan kopi arabica, namun kadar kafein robusta lebih tinggi dari arabika.
Bukan karena kebetulan pada saat ini aku menikmati robusta Menoreh. Ketika menyeruputnya, aku teringat seorang pejuang, Pangeran Diponegoro, yang melakukan perjuangan melawan Hegemoni pemerintah Hindia-Belanda. Beliau beserta pengikut-pengikutnya menjadikan pegunungan Menoreh sebagai basis pertahanan. Meski pada akhirnya perjuangan fisik bisa dipadamkan pemerintah apartheid Hindia-Belanda, namun semangatnya masih terasa dan menggema dalam keabadian.
Pangeran Diponegoro ketika dilahirkan diberi naman Ontowiryo ‘diramal’ oleh kakek buyutnya,
Sultan Hamengku Buwono I, akan menjadi seorang yang besar. Sinuhun HB I meramalkan Ontowiryo akan menjadi Herucokro atau Ratu Adil. Oleh sebab itu, Sultan meminta istrinya, Ratu
Ageng, untuk mendidik dan membesarkan Ontowiryo. Dikarenakan
perselisihan dengan anaknya, Sultan Hamengku Buwono II, yang kemudian
menggantikan tahta ayahnya, Ratu Ageng memilih untuk memisahkan diri
dari Kraton dan tinggal di Tegalrejo dengan membawa serta Ontowiryo. Pada saat itu kehidupan di keraton diwarnai budaya hedonistik yang dibawa oleh Belanda. Banyak sekali pangeran-pangeran pada era ini keluar dari lingkungan keraton dan menjadi santri diluar tembok keraton.
Ontowiryo dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa dengan akhlak Islami, Ontowiryo tumbuh
menjadi sosok yang rendah hati, santun, cerdas sekaligus berani dan
berakhlak mulia. Keyakinan terhadap nilai-nilai kebenaran dipegangnya dengan ditunjang dengan keterampilan berperang yang dilatih oleh
paman-pamannya, menjadikan Ontowiryo tumbuh menjadi sosok yang
kuat. Itulah sebabnya, ketika tidak ada satu pun yang berani menentang
perintah Belanda yang sangat zalim, membiarkan dan melarang menguburkan
sesosok mayat petani yang tidak membayar pajak di tengah lapang,
Ontowiryo sendiri yang melakukannya. Perang Jawa yang kesohor dalam sejarah Jawa, dipimpin oleh tokoh ini. Meski kemudian tertangkap dan diasingkan, namun Perang Jawa ini menjadi salah satu sebab keuangan Hindia Belanda menipis.
Sekelumit kisah yang heroik di kawasan Menoreh ini memunculkan dalam benakku akan pentingnya sebuah gerakan yang berasal dari grass-root, sebagaimana gerakan perlawanan Pangeran Diponegoro melawan kezaliman. Tentunya, perang fisik pada era dahulu berbeda dengan era sekarang. Jaman sekarang hampir sedikit sekali sebuah negara melakukan hegemoni melalui aneksasi dan perbudakan fisik. Namun perang dan perjuangan jaman sekarang adalah merubah sebuah sistem yang hegemonik secara ekonomi dan informasi. Di era globalisasi sekarang ini, kedaulatan ekonomi kita dikuasai oleh pemilik modal yang sangat besar, sehingga kita sebagai sebuah bangsa dikebiri identitasnya dalam lingkup global untuk sebuah "kemakmuran bersama" yang dijanjikan oleh globalisasi. Namun, apabila kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah merdeka ? Apakah kita sudah merdeka ketika untuk hidup layak saja harus bekerja bak robot dan budak ekonomi. Petani kita misalnya, bekerja keras untuk menghasilkan komoditas yang secara ekonomis rendah, dibeli oleh tengkulak kemudian diekspor ke negara maju. Hasil ekspor memang dapat mendatangkan devisa, namun siapakah yang mendapatkan nilai rente yang tinggi ? Rantai pasok komoditas pertanian yang diekspor tidak memasukkan petani sebagai pemasok sehingga ada asimetri dalam informasi. Sebaliknya, para petani kita membeli sarana produksi pertanian dan membeli kebutuhan hidup dengan harga yang tinggi, harus menyekolahkan anak mencapai pendidikan tinggi sehingga bisa hidup layak. Akhirnya sedikit sekali keturunan petani yang tidak bersedia menjadi petani lagi, karena petani dianggap sebagai pekerjaan kotor (peasant) yang memiliki konotasi negatif.
Karena kita hidup di era global, dimana barrier antar negara harus dihilangkan untuk efisiensi dan efektivitas perdagangan international, yang pada akhirnya dikuasai oleh big-player yang memiliki sarana-prasarana dan jaringan multinasional. Lalu kemudian bersemangat untuk memproteksi hasil pertanian melalui indikasi geografis, yang bisa kita tebak tidak disertai dengan struktur pendukung yang memadai serta maintenance yang cukup dipertimbangkan.
Lalu kemudian aku berfikir. Bisakah kita menggerakkan akar-rumput kita untuk memperbaiki keadaan dalam sistem yang tercipta dari atas-bawah ? Dalam globalisasi ini, kita "dipaksa" oleh sistem supra-nasional berupa jaringan korporasi multi-nasional untuk menerima konsep glokalisasi. Berdasarkan definisinya, maka glokalisasi adalah
Glocalization serves as a means of combining the idea of globalization with that of local considerations. (Sumber Wikipedia)
Hal inilah yang menginspirasi perusahaan korporasi seperti McDonald memasukkan masakan Korea dalam menunya untuk menyesuaikan dengan lidah Korea. Tujuan dari glokalisasi adalah penetrasi pasar asing (diluar Amerika) sehingga jualan tetap laku.
Lalu, bagaimanakah kita sebagai sebuah bangsa yang selalu dikatakan "negara berkembang" ? Haruskah kita selalu didikte oleh kekuatan pemodal asing ? Sanggupkah pemerintah kita melindungi rakyat kita dalam hal ekonomi ? Ataukah pemerintah telah menjadi agen asing dalam menancapkan kuku di Indonesia ?
Bangsa Indonesia baru merasakan kalau dijajah setelah era Kebangkitan Nasional, setelah para priyayi diberikan kesempatan pendidikan luar negeri. Butuh waktu yang panjang bagi sedikit sekali orang terdidik merasakan perlunya kemerdekaan. Dalam arti kata perlu learning atau pembelajaran dalam mengkristalisasi-kan perjuangan yang sebenarnya. Perjuangan dari para pejuang, Pangeran Diponegoro, Kapitan Pattimura, Tjut Nyak Dien, dan masih banyak nama-nama yang tersebut maupun yang tidak, yang energi perjuangannya menggema dalam keabadian Indonesia.
Apakah kita merasa bahwa kita sekarang terjajah secara ekonomi ? Mungkinkah inisiatif semacam IG bisa menjadi jembatan perjuangan ?
Dalam kasus kopi Indonesia, sedang dilakukan sertifikasi Indigasi Geografis kopi Arabika. Sebuah awal dari proteksi ekonomi. Namun apakah proteksi tersebut dapat menggema sampai akar-rumput untuk menunjukkan taringnya dalam perjuangan ekonomi Indonesia ?
Jumlah produksi robusta Menoreh masih sedikit dan masih jauh dari inisiatif Indikasi Geografis, namun sebuah potensi pengembangan wilayah yang berbasis akar rumput merupakan sesuatu hal yang sangat mungkin dilakukan. Selama ini pendekatan rural development lebih banyak menggunakan pendekatan struktur atas-kebawah dan kurang dengan pendekatan dari bawah-atas. Di era globalisasi ini, masyarakat pedesaan paling tidak memiliki dua keunggulan dibanding masyarakat perkotaan, yaitu kohesivitas kelompok dan indigenous knowledge (pengetahuan lokal). Meski di era global, beberapa pakar pedesaan mengatakan bahwa kohesivitas dan pengetahuan lokal sudah semakin tergerus, namun hal ini tergantung untuk setiap daerah.
Sertifikat Indikasi Geografis (IG) yang selama ini hanya dipandang sebagai perlindungan legal berbasis TRIP (Trade Related Intelectual Property Right) atau hak atas kekayaan intelektual kolektif dapat digunakan sebagai trigger bagi pembangunan daerah berbasis akar rumput. Struktur sistem yang sedang atau akan dibentuk seyogyanya bisa memacu dan mengarahkan "emerging system" atau sistem yang muncul dari interaksi antar aktor-aktor yang ada di dalamnya yang memiliki tiga dampak sistemik, yaitu secara ekonomis, sosial dan lingkungan atau dalam istilah sekarang disebut sebagai "sustainable development". Namun sebenarnya ada atau tidaknya konsep pembangunan berkelanjutan atau "sustainable development" bangsa kita sudah memiliki Weltanschauung (pandangan hidup) yaitu Pancasila.
Pertama, pembangunan grassroot harus didasarkan pada asas Ketuhanan dimana seluruh daya upaya semata-mata dilakukan karena keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, pembangunan grassroot didasarkan pada asas Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga didasarkan pada asas Persatuan Indonesia. Keempat, didasarkan pada asas Kerakyatan Yang Dipimpin Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Last but not least, asas kelima, yaitu Keadilan Sosial.
Dunia sedang berubah secara global. Manusia Indonesia bisa mengakses informasi dari seluruh penjuru dunia. Hal itu sedikit banyak mempengaruhi bagaimana manusia Indonesia melihat dunia (Weltanschauung). Mungkinkah terwujud sebuah masyarakat madani Pancasilais yang memberdayakan masyarakat bawah ? Bukan sebuah masyarakat yang diper-daya-kan oleh kekuatan supra-nasional ? Sebuah potensi untuk menggerakkan grassroot movement untuk Indonesia mandiri.