Jumat, 07 November 2014

Suwung : kondisi tiada makna

Sore ini aku mengalami kondisi suwung. Suatu kondisi tanpa harapan dan ketakutan. Sebuah kondisi yang ingin dicapai oleh para yogi dengan meditasinya untuk mengosongkan pikiran dari semua persepsi akan kausalitas dunia. Namun bagiku, kondisi suwung hanyalah sebuah fase dalam kehidupan ini agar bisa keluar dari carut marut kehidupan dunia yang relatif. Bagi saya, suwung adalah sebuah kondisi tiada persepsi akan segala obyek yang muncul dalam panca indra kita.Dalam kondisi ini, sering sekali aku diam saja, tanpa ingin berbicara dengan siapapun. Ketika menuliskan inipun aku malas menekan tuts-tuts keyboard yang semakin hari semakin usang.

"Apakah yang kamu cari di dunia ini ?", demikian sebuah pertanyaan yang muncul dari lubuk paling dalam diriku. Ketika semua akibat dan sebab tiada berarti sama sekali. Akupun tidak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku ini. Sering sekali aku terduduk, termenung, tapi tiada apapun yang muncul dalam benakku kecuali sebuah pertanyaan, "Apa yang kamu cari di dalam dunia ini, di dalam kehidupan ini ?". 

Biasanya setelah mengalami kondisi suwung, aku akan mendapatkan kesadaran akan kausalitas kemudian. Kebetulan sore ini, setelah aku mengalmai kondisi suwung, teringat kembali beberapa wacana mengenai dunia ini. 

NAH, saat ini aku sudah kembali memiliki kesadaran kausalitas setelah mengingat kembali pelajaran "Tertium Organum" dari Ouspensky, Critical Realism dari Bhaskar dan Integral Holon dari Ken Wilber. Ketiganya merupakan teosofis dalam kajiannya masing-masing. Apabila Ouspensky membuktikan adanya Organum Ketiga melalui pembuktian matematis, Bhaskar menggunakan kacamatanya sebagai filsof, Ken Wilber menggunakan kacamatanya sebagai ahli psikologi transpersonal.

Sudah bisa ditebak bahwa pembaca awam akan mengalami kesulitan memahami apa yang ketiga teosofis tersebut katakan. Barangkali hanya sebagian kecil yang bisa memahami pembahasan mereka.

Pada intinya, "hal" atau suatu kondisi suwung tersebut ada dalam setiap budaya spiritual dengan bahasa yang beragam. Apabila dalam Budhisme Zen disebutkan sebagai kondisi Zen, Budhisme Trevadha sebagai thathata atau kesedemikianan, dalam tradisi Jawa sebagai suwung.

Setelah kesadaran kausalitas muncul, maka kemudian muncul kondisi baru integratif yang apabila dibahasakan menjadi "memahami titik temu dualitas". Maka dalam beberapa spiritualitas Timur muncul istilah "kosong itu isi dan isi itu kosong" atau semacam "melar-mengkeret". 




Rabu, 04 Juni 2014

Optimisme Membangun Bangsa

Sikap pesimistik dan fatalistik telah menghinggapi bangsa ini. Sebuah penyakit yang sering sekali tak kita sadari keberadaannya. Sikap pesimistik yang muncul dalam alam bawah sadar bangsa ini dalam pandangan saya berasal dari alam bawah sadar kolektif bangsa Indonesia. Kita ingin menjadi spiritualis yang mengandalkan pada laku bathin, namun pemikiran kita sudah teracuni oleh inferioritas kompleks yang dimunculkan oleh mental inlander. Jadilah sebagian besar dari kita menjadi pesimistik dan fatalistik.

Bangsa nusantara jaman penjajahan Belanda diletakkan sebagai bangsa kelas III setelah golongan Eropa dan golongan Timur Asia. Terma "Timur Asia" memperjelas bahwa pencipta istilah tersebut berada pada weltanschauung "di sebelah barat" Asia. Pada era sumpah pemuda, suku-suku di seluruh nusantara bersatu pada untuk berjanji sebagai sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia.

Di era kemerdekaan abad 21 ini, masih ada rasa pesimistik ala inlander yang "somehow" terwarisi. Masih ingatkan ketika BJ Habibie meluncurkan pesawat CN 235 dan dicemooh oleh wartawan karena menganggap bahwa bangsa Indonesia tidak akan mampu memproduksi produk teknologi tinggi. Dalam setiap kesempatan, kita selalu menghakimi diri sendiri sebagai bangsa yang inferior dan "good for nothing nation". Hal ini pernah disebutkan oleh Anies Baswedan dalam Kuliah Umum Kepemimpinan yang diadakan oleh Teknik Geodesi. Kurang lebihnya Anies mengatakan bahwa pemilu legislatif yang diadakan pada tahun 2014 yang lalu merupakan pemilu yang rumit, dan bangsa Indonesia dianggap sebagai negara yang sukses menyelenggarakan pemilu dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Yang jadi permasalahan adalah banyak orang-orang baik yang tersingkirkan dari panggung politik karena orang baik tidak mendukungnya. Lebih lanjut Anies mengatakan bahwa, kita harus percaya diri dan jangan selalu menyalahkan diri kita sebagai sebuah bangsa yang berhasil menyelenggarakan pesta demokrasi. Masalah money politics, Anies mengatakan bahwa sebenarnya permasalahan money ini sebenarnya sudah menjadi budaya kita, mulai dari sogok menyogok sampai dengan korupsi. Namun demikian, ia menyebutkan bahwa janganlah kita kehilangan kebanggaan kita akan keberhasilan kita.

Oleh karena itu, sebagai seorang insan Indonesia, kita harus senantiasa berpandangan positif dalam melihat bangsa ini.


Kamis, 29 Mei 2014

Mohon maaf capres lain, saya mengikuti Anies Baswedan

Pada awalnya, saya ragu untuk menentukan pilihan calon presiden untuk tahun 2014 ini. Waktu itu saya berfikir, capres mana yang dapat merepresentasikan idealisme saya sebagai pendidik sekaligus sebagai seorang warga negara Indonesia dalam membangun Indonesia.


Akhirnya saya terketuk hati dan pikiran saya untuk membuka kembali sejarah para tokoh yang mendukung para capres. Ada Amien Rais yang dulu sangat saya kagumi dan harapkan pada saat saya menjadi aktivis tahun 1998. Beliau merapat ke Prabowo-Hatta dan membela pasangan tersebut. Namun kemudian saya tidak melihat tokohnya saja, namun melihat motivasi saat ini mengapa mendukung Prabowo-Hatta. Kemudian saya melihat lagi Pak Machfud sebagai tokoh yang saya kagumi sebagai seorang yang reformis dan profesional. Namun kemudian sayapun bertanya, "Apakah motivasi beliau dalam memilih Prabowo-Hatta ?". Akupun bertanya, "Apakah motivasi Pak Machfud dalam memilih pasangan didasari oleh idealisme beliau atau oportunisme ?". Sayapun kemudian bertanya, "Apakah sama, visi-misi mu sama dengan visi-misi Pak Machfud dalam memilih capres ?".

Hati manusia tidak bisa ditebak. Dalam lautan dapat ditebak, dalam hati siapa tahu. Siapa bisa membaca maksud dalam hati pak Machfud dalam memilih pilpres, apakah sebagai ahli hukum, sebagai pribadi ataukah sebagai apa. Saya kemudian merubah kriteria saya dalam menentukan capres berdasarkan tokoh yang bisa dipegang visi-misi-nya. Terus terang saya kagum dengan karakter dan visi-misi Anies Baswedan.Nama itu tidak asing lagi di telinga saya. Beliau merupakan tokoh mahasiswa UGM yang melegenda pada saat masuk saya masuk sebagai mahasiswa di tahun 1994.

Mas Anies saya pandang bukanlah tipikal aktivitas tukang demo yang tidak memiliki konsep dan hanya berlindung di bawah ketiak ke-aktivisan-nya dalam hal prestasi dan kecemerlangan studi. Beliau adalah idola saya di saat saya berkiprah di Keluarga Mahasiswa UGM pada era 1995-1997. Waktu itu beliau sudah "pensiun" sebagai aktivis struktural intra-kampus, namun gaya dan pola-nya masih terkenal di kalangan aktivis waktu itu. 

Saat ini, saya menjadi pendidik di sebuah Perguruan Tinggi. Sempat saya merasa bahwa dunia kampus adalah dunia teoritis dan tidak membumi, lalu saya berfikir, "untuk apa menjadi pendidik di perguruan tinggi namun tidak bisa berguna bagi bangsa ini". Memang, dunia perguruan tinggi saat ini jauh lebih baik di era 90-an dulu. Jaman dulu, sebuah kelas mata kuliah sering sekali tidak sampai 14 pertemuan. Kadang hanya separuhnya alias dalam satu semester hanya diisi tujuh minggi, yang lainnya kosong. Namun saat ini, Perguruan Tinggi sudah memperbaiki kinerja-nya karena Kementrian Pendidikan memberlakukan sertifikasi BAN, sertifikasi dosen yang kemudian diimplementasikan oleh insitutsi secara menyeluruh. Namun demikian, saya sebagai pendidik kemudian merasa bahwa saya berkiprah hanya untuk memenuhi KUM, hanya untuk kenaikan jabatan agar mendapatkan sertifikasi, berusaha mendapatkan gelar professor. Intinya, profesi dosen menjadi tanpa ruuh dan cenderung terstandarisasi ala industri. Ya, perguruan tinggi telah menjelma menjadi sebuah industri yang dikontrol ketat oleh kinerja, dimana kinerja itu sering sekali tidak sesuai dengan output yang diharapkan karena langsung di benchmark dengan kondisi pendidikan tinggi di luar negeri yang situasi dan kondisinya berbeda.

Dalam kondisi seperti ini, saya akhirnya merenung dan bertanya, "Buat apa menjadi pendidik, namun merasa terkerdilkan darena menjadi pragmatis sebagaimana profesi karyawan an sich". Bukan berarti saya mengkerdilkan profesi karyawan, namun idealisme-ku sebagai pendidik awalnya adalah mencerdaskan bangsa, membentuk profesionalisme melalui pendidikan tinggi dan yang jelas memiliki visi-misi idealisme. Dus, seorang dosen seharusnya memiliki sebuah visi besar yang diwujudkan ke dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, bukan hanya mengumpulkan KUM.

Anies Baswedan menginspirasi akan sebuah perubahan melalui pendidikan. Seorang pendidik yang memiliki dedikasi tinggi. Tidak mengherankan karena beliau dididik dalam lingkungan pendidik dimana ibundanya adalah seorang Profesor di Universitas Negeri Yogyakarta dan ayahanda beliau adalah mantan Rektor Universitas Islam Indonesia.  Barangkali fakta inilah yang menjadikan beliau sebagai aktivis yang peduli pendidikan. Kemudian menjadi researcher yang peka dinamika perpolitikan untuk melakukan transformasi pendidikan melalui gerak nyata. Beliau telah menginspirasi untuk berkarya tanpa melihat KUM dan kepangkatan. Untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya untuk kemudian menjadikan pendidikan tinggi bukan sebagai menara gading. 

Ada kemiripan pula antara aku dengan mas Anies dalam hal latar belakang keluarga. Meski kakek mas Anies adalah seorang negarawan di era awal Republik ini, namun beliau dibesarkan dalam keluarga pendidik. Akupun berasal dari keluarga pendidik. Ibuku seorang guru sekolah menengah pertama yang mengajarkan nasionalisme dan Pancasila sedangkan ayahku juga seorang Profesor bidang pendidikan. Aku-pun tergerak untuk memajukan pendidikan Indonesia dalam artian luas dan khusus. Dalam artian luas, aku tergerak untuk memajukan pendidikan dalam artian luas, karena pendidikan itulah yang membuka jendela intelektualitas dan dalam artian sempit aku berkiprah secara profesional dalam institusi. Aku tidak mengejar gelar Profesor, namun lebih pada dedikasi terhadap pembelajaran Indonesia dalam bidangku.

Dalam hubungannya dengan calon presiden, aku melihat bahwa pilihan Mas Anies untuk ikut dalam gerbong Jokowi-Jusuf Kalla bukan tanpa maksud. Beliau pasti melihat bahwa memihak pada salah satu capres adalah dalam rangka mengejawantahkan nilai perjuangan transformasi masyarakat melalui pendidikan. Pola berfikir beliau memang kadang disepelekan karena hanya menekuni, "gerakan Indonesia mengajar" yang notabene tidak langsung membawa pada perubahan. Tapi justru disitulah saya melihat bahwa konsep transformasi dalam dunia pendidikan berbeda dengan pertumbuhan dalam dunia ekonomi-industri. Untuk merubah mental dan mind-set tidaklah mudah, memerlukan waktu panjang dan perjuangan yang tiada henti. Seorang pendidik harus sabar bahwa hasil dari perjuangannya tidak bisa dihasilkan dalam satu malam, dan ketika berhasil, hasilnya-pun belum tentu menguntungkan secara ekonomis. Ketika ada permasalahan sosial yang berhubungan dengan pendidikan, pendidik sering disalahkan, namun ketika berhasil sering sekali terlupakan.

Mas Anies, aku mengikuti-mu untuk memilih presiden sesuai dengan aspirasi-mu. Aku harapkan kepemimpinan dan transformasi pendidikan di tangan-mu. Aku bantu dengan semua upayaku untuk Indonesia tercinta. Bismillah.....


Minggu, 25 Mei 2014

Memaknai Kembali Kemerdekaan Indonesia (Tulisan 3)

Setelah tulisan ke dua mengenai "Mengenai Kembali Kemerdekaan Indonesia" saya mempertanyakan sejarah terbentuknya sebuah kesepakatan akan adanya istilah Bangsa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928. Sebuah kristalisasi akan keberadaan sebuah bangsa dalam blantika hubungan antar manusia dalam lingkup nusantara. Pertemuan kelompok-kelompok manusia dalam satuan kerajaan telah mewarnai terbentuknya "pakta nusantara" berupa Sumpah Pemuda. Pakta nusantara tersebut didahului oleh kesamaan nasib sebagai jajahan Belanda beserta dialektika yang ada di dalamnya. Munculah kemudian Deklarasi Kemerdekaan Indonesia dan perjuangan revolusi untuk mempertahankan deklarasi 17 Agustus 1945. Lalu kita bertanya, apakah mungkin deklarasi 17 Agustus 1945 terjadi tanpa didahului oleh "pakta nusantara" bernama Sumpah Pemuda yang menyatakan, Bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, Indonesia. 

Pernahkah kita mencoba untuk melihat kemerdekaan Negara Timor Leste melalui kacamata mereka ? Apakah pernah terfikirkan bahwa partai APODETI dianggap sebagai pengkhianat Bangsa Maubereketika partai Apodeti memperjuangkan integrasi dengan Indonesia, sedangkan UDT menginginkan kemerdekaan secara bertahap dan FRETILIN menginginkan kemerdekaan lepas dari kekuasaan Portugal maupun dari kekuasaan Indonesia. Perbedaan antara bangsa Indonesia dan bangsa Maubere terletak pada ada/tidaknya envisioning sebagai sebuah bangsa yang satu.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa para pejuang kemerdekaan-pun memiliki sudut pandang sendiri-sendiri akan makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Apakah bangsa Indonesia secara politis mandiri, ataukah dalam sebuah persemakmuran ataukah tetap berada secara politis di bawah negeri Belanda ? Pandangan para pejuang-pun pada suatu titik tertentu membentuk faksi-faksi. Faksi relijius, nasionalis maupun komunis (demikian klasifikasi Soekarno terhadap ideologi para pejuang). Ada kelompok pejuang yang kemudian dieksekusi karena berhaluan komunis dan ingin mendirikan negara komunis Indonesia seperti Amir Syarifuddin. Ada kelompok pejuang yang kemudian dieksekusi karena berhaluan relijius dan ingin mendirikan pemerintahan Darul Islam semacam Kartosuwiryo. Ada kelompok pejuang yang kemudian berhaluan nasionalis dan secara politis mendirikan Negara Republik Indonesia yang kini kita kenal. Sejarah memang ditulis berdasarkan siapa yang memenangkan persaingan. Kalau saya pribadi lebih cenderung untuk memihak Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena terlahir di era 70-an. Konstelasi perpolitikan yang terjadi pada era 1945-1950 hanya dapat didengarkan dari sejarah perjuangan bangsa.

Terkembali pada bangsa Timor Leste, negeri Lorosae adalah negeri yang mereka diami dengan pemerintahan di bawah mandat rakyat yang terlahir melalui kemerdekaan "jejak pendapat 1999". Tidak ada istilah "bagian dari Indonesia" sebagaimana saya sendiri sekarang menyatakan "hidup mati NKRI" lepas dari pengaruh Belanda adalah sesuatu hal yang lumrah. Ketika ada orang tua bekas tentara NICA mengunjungi Indonesia dengan mengenang perjuangannya barangkali mirip-mirip dengan pensiunan tentara TNI yang ditugaskan di Timor Timur waktu itu. "Pengkhianatan" Eurico Hueterres dimata bangsa Lorosae barangkali sama dengan pandangan kita terhadap Sultan Hamid yang memihak Belanda maupun anggota KNIL dari Jawa, Ambon, Maluku yang memihak Belanda dan meninggal sampai tua di Belanda. 

Perbedaan antara Bangsa Indonesia dengan bangsa Maubere barangkali adalah belum adanya "saat" mengkristalkan diri sebagai sebuah bangsa. Timor Portugis mengalami vakum kekuasaan selama tiga bulan paska Revolusi Bunga (Carnation Revolution) di Portugal namun belum sempat mengalami kristalisasi sebagai sebuah bangsa sebagaimana bangsa-bangsa yang dikuasai pemerintah kolonial mencapai level awareness sebagai sebuah bangsa pada era 1900-saat sebelum PD II.

Memiliki sebuah kesamaan visi dan misi bagi sebuah bangsa adalah penting dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan. Hal ini dapat kita lihat pada pergulatan bangsa Indonesia dari menyadari sebagai sebuah bangsa sampai dengan mewujudkan sebuah negara bangsa (nation-state). 

Sebuah kontrak sosial telah bangsa ini lakukan untuk menyatakan eksistensinya sebagai sebuah entitas sosial, yang kemudian pada tahapan selanjutnya mencari bentuk dari eksistensi tersebut. Kemunculan eksistensi idiil menjadi kemunculan eksistensi riil membutuhkan perjuangan. Begitupun mengingat eksistensi idiil untuk mengisi eksistensi riil diperlukan untuk melangkah ke depan.

Andaikan Belanda berhasil menguasai NKRI dan menjadi Republik Indonesia Serikat, barangkali deklarasi kemerdekaan 17 Agustus tidak akan ada artinya. Begitupun apabila, misalnya, NKRI tidak bisa mempertahankan eksistensi de facto dan yuridis sebagai sebuah nation-state saat ini, maka deklarasi Sumpah Pemuda tidak akan ada artinya. Semoga itu tidak terjadi. Meski kita tidak menghendaki hal itu, namun kemungkinan terjadi seperti itu akan terjadi apabila kita tidak memahami makna sebuah kemerdekaan Indonesia. Dalam blantika sejarah, kita lihat bangsa bangsa mengalami pertumbuhan, kemajuan dan kemunduran sebagai konsekuensi sunnatullah. Adalah ujian yang berat untuk mempertahankan eksistensi de facto dan de jure sebuah nation-state, namun sebuah tantangan di era post-modern ini untuk mempertahankan eksistensi idiil akan apa itu makna idiil sebuah bangsa. 

Karena apabila tidak bisa menemukan kembali eksistensi idiil, apakah artinya sebuah nation-state. Dan apabila kita tidak dapat mempertahankan eksistensi riil sebuah bangsa, apakah kita harus bertanya kembali eksistensi idiil dan menemukan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa. After all, hidup ini adalah sekumpulan dialektika yang berkelindan untuk menuju sebuah makna sejati dari semua ini, yaitu MENGENAL SANG PENCIPTA dalam adanya ayat-ayat hidup.












Sabtu, 10 Mei 2014

Memaknai Kembali Kemerdekaan Indonesia (Tulisan 2)

Penting kiranya kita mendefinisikan makna kemerdekaan Indonesia saat ini. Pertama, karena kita memasuki era global dimana kita masuk dalam komunitas yang lebih luas dan kedua, karena kita akan memasuki Pemilihan Presiden 2014 yang akan menentukan proses perjalanan sebuah bangsa sekaligus negara.

Bangsa Eropa Barat sejak jaman eksplorasi menjadi bangsa yang sangat menentukan peta dunia kurang lebih selama lima ratus tahun. Penentuan peta dunia tersebut melalui proses panjang persaingan, yang semual terjadi di dalam benua mereka sendiri maupun persaingan pelayaran samudra dan eksploitasi wilayah-wilayah di luar kerajaannya. Adalah bangsa Spanyol dan Portugal yang mengawali penjelajahan samudra dan perdagangan. Tidak jarang kedua bangsa tersebut bersaing dan berperang satu sama lain hanya karena perebutan wilayah kekuasaan. Pada fase selanjutnya bangsa Eropa lain turut serta dalam pelayaran dan penguasaan perdagangan, termasuk di dalamnya Belanda dan Inggris. Sedangkan bangsa-bangsa lainnya turut serta dalam rantai perdaganganmeski tidak menguasai sampai hulu. Namun, the bottom line adalah negara Eropa kala itu berlomba-lomba untuk saling mengungguli, hanya saja masing-masing menggunakan keunggulannya untuk bersaing. 

Dua Perang Dunia telah membawa perubahan pada bangsa Eropa (plus Amerika Serikat) dengan terakhir membawa perubahan persaingan dari penguasaan ekonomi melalui penguasaan wilayah menjadi penguasaan ekonomi melalui industri. Setelah Perang Dunia II, persaingan menjadi persaingan industri yang kemudian merubah lanskap dunia lagi. Terakhir kita menyaksikan, dalam blantika dunia terjadi polarisasi atas dasar ekonomi, Uni Eropa terbentuk dan persaingan menjadi berubah, bukan antar negara Eropa Barat maupun bangsa-bangsa yang membentuknya, namun malah menjadi sebuah kekuatan ekonomi tersediri.

Bagaimanakah dengan negeri-negeri yang sebelum Perang Dunia terjajah ? Dimanakah posisi negeri-negeri tersebut saat ini ? Apakah sudah bisa mengejar ketertinggalan ekonomi setelah sekian abad dihisap sumber daya alam dan bio-massa untuk membangun negeri-negeri Eropa ? Apakah masih menjadi bangsa bermental inlander yang mudah dipecah-belah oleh kekuatan asing ?

Marilah kemudian kita melakukan napak tilas dari awal mula perjumpaan kerajaan-kerajaan nusantara yang dulu kala masih belum memiliki kesamaan visi dan misi mengidentifikasi diri sebagai sebuah bangsa Indonesia. Titik tonggak keberadaan bangsa terjadi pada 28 Oktober 1928 dan titik tonggak keberadaan negara pada tanggal 17 Agustus 1945. Melalui proses krisis yang terjadi pada rentang 1946-1950 yang sering disebut masa revolusi.


Memaknai Kembali Kemerdekaan Indonesia (Tulisan 1)

Di jaman kemerdekaan ini, ada baiknya kita mengingat kembali perjuangan para founding fathers kita dalam memerdekakan Indonesia. Hal ini penting karena di era globalisasi ini, bangsa Indonesia senantiasa berjuang untuk memperkuat eksistensi pada segala bidang diantara bangsa-bangsa di dunia ini. Era globalisasi dengan berbagai kemajuan, memiliki beberapa kelemahan yang patut kita garisbawahi. Diantara kelemahan adalah semakin kendurnya makna kebangsaan kita. Seolah kita lupa, bahwa globalisasi bukan berarti bahwa eksistensi kebangsaan Indonesia hilang ditelan jaman. Ketika perjuangan pergerakan kemerdekaan telah kita lewati dalam rentang yang sangat panjang dan sekarang kita mengisi kemerdekaan bukan berarti perjuangan pergerakan sudah usai. Memang, kita sudah dianggap sejajar sebagai sebuah bangsa dan Negara di dunia internasional, namun bagaimanakah dengan eksistensi bangsa kita di bidang lain ? Apakah rakyat kita sudah benar-benar merdeka ?

Dalam sejarah perjuangan pasti ada pro-kontra dalam menyikapi suatu hal. Hal ini berlaku pula pada kasus perjuangan pada beberapa peperangan yang terjadi di Nusantara sebelum kemerdekaan. Jadi sebenarnya, banyak sekali dari kejadian-kejadian dalam sejarah apabila tidak jeli maka akan terjebak pada menyalahkan penjajah Eropa dan melupakan antek-antek penjajah pribumi yang menjadi alat dari penjajah Eropa. Hal ini disebabkan karena pragmatisme berfikir dari antek-antek tersebut yang hanya melihat realitas keuntungan sesaat. Sedangkan sebaliknya para pejuang yang tercatat dalam sejarah pada waktu itu disebut sebagai pemberontak atau ekstrimis. Hanya kebetulan saja saat ini NKRI sebagai perwujudan perjuangan panjang bangsa Indonesia berdiri sehingga sejarah mencatat para pejuang adalah orang yang berjasa, sebalikya pribumi yang ada di pihak Belanda sebagai antek penjajah. Dalam hal ini berlaku istilah, "sejarah tergantung siapa yang memenangkan dan berkuasa". Apabila alur sejarah berlaku sebaliknya, maka boleh jadi Pangeran Diponegoro, Pattimura, Cut Nya Dhien akan menjadi pemberontak dalam sejarah.

Dengan memaknai kembali kemerdekaan Indonesia, maka kita membuat gerbang ke masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada saat pergolakan kemerdekaan beserta latar belakangnya, sehingga kita bisa memandang masa depan Indonesia dengan kacamata yang baru. Namun, bagaimana kita melihat sejarah, kita membutuhkan konteks dari kejadian-kejadian masa lalu secara lengkap dan hati-hati sehingga kita bisa memandang dengan tepat.

Marilah kita mengingat mengapa pada awalnya kita dijajah ? Meski penjajahan secara politis baru dimulai saat Pemerintah Hindia Belanda berdiri untuk mengambil alih wilayah kekuasaan VOC pada tahun 1800, namun penjajahan secara ekonomi sudah terjadi sejak bangsa Eropa datang ke Nusantara. Pembaca bisa membaca sejarah Nusantara di era 1800 bahwasanya pulau Jawa dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai seluruh wilayah nusantara tidak berhenti hingga Pulau Jawa. Sebagian wilayah mulai dikuasai oleh Belanda satu demi satu sampai ahmpir seluruh Nusantara dikuasai pada saat awal 1900. Demikian panjang usahan Belanda untuk menguasai Nusantara dan sedemikian panjang pula pergolakan-pergolakan Nusantara untuk melawan hegemoni Belanda. Tulisan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan Bangsa Belanda atau Bangsa Eropa lainnya dalam menguasai wilayah-wilayah jajahan, namun berusaha untuk mengingatkan bahwa perjuangan eksistensi sebuah bangsa itu diperlukan dalam setiap jaman. Perjuangan eksistensi telah terbukti dengan lahirnya Negara Republik Indonesia, namun perjuangan eksistensi secara ekonomi maupun peradaban masih sangat jauh. Intinya, dalam setiap jaman diperlukan perjuangan sebuah bangsa untuk diakui dalam kancah kehidupan ini. 
Barangkali kita lupa dari proses perjalanan sejarah masa lalu bahwasanya eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa memerlukan waktu yang lama. Munculnya Sumpah Pemuda merupakan sebuah deklarasi akan eksistensi sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Tanpa Sumpah pemuda yang dideklarasikan 28 Oktober 1928, barangkali perjuangan politik tidak ada artinya. Dengan adanya eksistensi sebuah bangsa maka kemudian muncul kesadaran akan perlunya sebuah nation state. Ya, sebuah nation memerlukan sebuah state atau Negara untuk hidup. Manuel Castells (2000) menganjurkan agar perlu membedakan antara negara dengan bangsa. Negara adalah organisasi politik yang secara eksternal merupakan kekuatan independen, dan secara internal adalah kekuasaan tertinggi, dengan kekuatan utama ada di rakyat dan uang untuk menjagai independensi dan otoritasnya. Paling tidak ada beberapa kasus yang bisa menjadi cerminan hubungan bangsa dan Negara. Apabila castells (2000) mengamati kasus (1) nation without state dan (2) nations against state maka kita bisa menambahkan nations distributed into different states. Dalam relasi Negara dan bangsa, Castell mengamati kasus Catalunia dan Uni Sovyet. Untuk kasus Catalunia Castells menyebutnya sebagai nation without state sedangkan untuk kasus Uni Sovyet sebagai nations against state.  

Castells menggunakan bangsa Catalonia sebagai kasus nation without state. Sedangkan kita bisa juga memasukkan bangsa Palestina sebagai bangsa tanpa negara ketika masih harus hidup dibawah regim Israel.Sedangkan bangsa Kurdi merupakan sebuah bangsa yang masuk ke dalam negara yang berbeda-beda. Bangsa Kurdi yang bermukim dan hidup di Kurdistan, yaitu wilayah pegunungan di Asia Barat yang termasuk bagian dari Turki, Iran, Irak, Suriah, dan Armenia. Beberapa kali bangsa ini mencoba untuk mendirikan Kurdistan Raya namun gagal, sehingga pada akhirnya mereka lambat laun menerima tawaran otonomi khusus dari Negara tempat mereka berada..

Sebutan suku-bangsa dan bangsapun menjadi kabur ketika kita melihat suku Kurdi. Dalam konteks kebangsaan sebenarnya ia adalah Bangsa Kurdi yang memiliki keterkaitan sejarah dan wilayah geografis. Dalam konteks dimana ia berada maka ia masuk ke dalam sub-bangsa, missal dalam negara Irak mereka masuk dalam kategori suku Kurdi, begitupun di wilayah negara Iran, Turki, Suriah maupun Armenia.

Uni Sovyet lebih mirip dengan Indonesia yang terdiri dari kelompok masyarakat yang beragam. Jaman dahulu Uni Sovyet identik dengan bangsa Rusia, kendatipun di dalamnya banyak sekali bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan masuk dalam Negara Uni Sovyet. Ketika mengalami disintegrasi, maka lahirlah berbagai Negara-bangsa.

Nah, kasus Indonesia barangkali unik karena proses perjalanan menjadi Republik Indonesia sekarang ini mengalami proses yang berliku. Semoga tidak terjadi sebagaimana pada Negara Yugoslavia dan Uni Sovyet karena akan terjadi pembalikan sejarah yang menyakitkan. Apabila di NKRI mengalami disintegrasi, bukan hanya mengingkari perjanjian sacral Proklamasi Kemerdekaan, namun juga mengingkari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Untuk itu marilah kita mengingat kembali proses menjadinya sebuah bangsa yang terkristalisasi pada saat Sumpah Pemuda 1928 untuk kemudian mengingat kembali proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Apakah yang terjadi apabila Sumpah Pemuda tidak ada ? dan apakah yang terjadi apabila tidak pernah ada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ? Akankah bangsa Indonesia ada ? Apakah sebuah Negara ada untuk merepresentasikan bangsa/suku-bangsa yang mendiami nusantara ?
Perlu kita memaknai kembali makna kemerdekaan Republik Indonesia ini di era globalisasi. Globalisasi memiliki dampak akan apakah itu nation state. Dunia memang mengalami perubahan yang pesat di era modern ini. Apabila paska Perang Dunia II membawa dampak diakuinya kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan mendirikan sebuah Negara, maka setengah abad kemudian kita mempertanyakan kembali eksistensi sebuah bangsa dan Negara dalam kancah global. <BERSAMBUNG>

Rabu, 07 Mei 2014

Pada hakekatnya, kita semua pelayan

Tuhan menurunkan agama kepada manusia, agar manusia mendapatkan petunjuk akan apa yang harusnya dilakukan manusia dalam kehidupan ini, sebagai bekal di akherat kelak. Untuk itu manusia harus melakukan kebajikan-kebajikan di dunia ini dalam rangka mendapatkan surga kelak.

Demikian pandangan umum manusia dalam melihat agama, yaitu sebuah cara agar manusia masuk surga dan terjauh dari api neraka. Hal ini tidaklah salah, Tuhan-pun memberikan keterangan itu dalam kitab suci. Namun, apakah benar-benar demikian bagi orang-orang yang tidak mengharapkan surga ?

Jadi, APA yang seharusnya dilakukan manusia dan BAGAIMANA seharusnya melakukannya merupakan pertanyaan yang sering muncul dalam benak kita.

A. APA yang seharusnya dilakukan manusia
Ketika kita membaca skrip-skrip suci keagamaan, sering sekali satu kata ini terlewatkan, yaitu melayani. Dalam beberapa ajaran tasawuf (ajaran spiritual Islam), ditekankan bahwa seorang salik dalam berguru kepada sang guru harus melayaninya. Sebuah aturan yang barangkali sangat feodalistik dalam masyarakat modern ini. Namun sebenarnya, proses melayani sang guru itu merupakan sebuah pembelajaran akan pelayanan kepada Sang Khaliq yang dilakukan melalui wasilah sang guru.

Ketika kita melihat pribadi para nabi, kitapun lupa bahwa apa yang mereka lakukan adalah jalan pelayanan. Para nabi dan rasul melayani Tuhan melalui pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan dan kewenangan didapatkan secara "Divine" yang tidak diperuntukkan bagi pelayanan. Perbedaan antara kita dan mereka (para nabi dan rasul) barangkali pada tingkatan totalitas yang berbeda akan pengorbanan jiwa, raga dan harta.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya masing-masing individu diharuskan untuk melayani. Seorang pedagang melayani konsumen secara total dengan memenuhi semua persyaratan dan keinginan pelanggan. Biasanya, pedagang yang mampu melayani konsumen secara total-lah yang dianggap unggul.

Ketika kita melihat seorang guru TK yang dengan senang hati mendidik siswanya dengan penuh kesabaran, maka kita lihat bahwa itulah pelayanan dia dalam memberikan yang terbaik bagi anak didiknya.

Begitupun seorang pemimpin yang melayani siapapun yang ia pimpin, maka itulah pelayanan yang sebenarnya.

B. BAGAIMANA seharusnya melakukannya ?
Dalam melayani, seseorang harus mengetahui bagaimana ia melakukan pelayanan ? Apakah dia seorang pedagang, seorang guru, seorang tukang sapu ? Apakah sama, seorang tukang sapu melayani dengan seorang guru dalam melayani. Pertama-tama yang harus diketahui adalah CARA dalam melayani. CARA merupakan knowledge seseorang dalam melakukan sesuatu. Misalnya, seorang dosen yang melayani mahasiswanya harus tahu apa saja yang harus dilakukan dan persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam melayani.

Tentunya dalam melayani ini dibutuhkan keahlian dan pengetahuan dalam melayani siapapun yang kita layani. Sebagai seorang pendidik tentunya akan melayani siswa atau mahasiswanya dengan kemampuan, keahlian dan pengetahuan yang berhubungan dengan tugas yang dibebankan kepada dia.