Di jaman kemerdekaan ini, ada baiknya kita
mengingat kembali perjuangan para founding fathers kita dalam memerdekakan
Indonesia. Hal ini penting karena di era globalisasi ini, bangsa Indonesia
senantiasa berjuang untuk memperkuat eksistensi pada segala bidang diantara
bangsa-bangsa di dunia ini. Era globalisasi dengan berbagai kemajuan, memiliki
beberapa kelemahan yang patut kita garisbawahi. Diantara kelemahan adalah
semakin kendurnya makna kebangsaan kita. Seolah kita lupa, bahwa globalisasi
bukan berarti bahwa eksistensi kebangsaan Indonesia hilang ditelan jaman.
Ketika perjuangan pergerakan kemerdekaan telah kita lewati dalam rentang yang
sangat panjang dan sekarang kita mengisi kemerdekaan bukan berarti perjuangan
pergerakan sudah usai. Memang, kita sudah dianggap sejajar sebagai sebuah
bangsa dan Negara di dunia internasional, namun bagaimanakah dengan eksistensi
bangsa kita di bidang lain ? Apakah rakyat kita sudah benar-benar merdeka ?
Dalam sejarah perjuangan pasti ada
pro-kontra dalam menyikapi suatu hal. Hal ini berlaku pula pada kasus
perjuangan pada beberapa peperangan yang terjadi di Nusantara sebelum
kemerdekaan. Jadi sebenarnya, banyak sekali dari kejadian-kejadian dalam
sejarah apabila tidak jeli maka akan terjebak pada menyalahkan penjajah
Eropa dan melupakan antek-antek penjajah pribumi yang menjadi alat dari
penjajah Eropa. Hal ini disebabkan karena pragmatisme berfikir dari
antek-antek tersebut yang hanya melihat realitas keuntungan sesaat.
Sedangkan sebaliknya para pejuang yang tercatat dalam sejarah pada waktu
itu disebut sebagai pemberontak atau ekstrimis. Hanya kebetulan saja
saat ini NKRI sebagai perwujudan perjuangan panjang bangsa Indonesia
berdiri sehingga sejarah mencatat para pejuang adalah orang yang
berjasa, sebalikya pribumi yang ada di pihak Belanda sebagai antek
penjajah. Dalam hal ini berlaku istilah, "sejarah tergantung siapa yang
memenangkan dan berkuasa". Apabila alur sejarah berlaku sebaliknya, maka
boleh jadi Pangeran Diponegoro, Pattimura, Cut Nya Dhien akan menjadi
pemberontak dalam sejarah.
Dengan
memaknai kembali kemerdekaan Indonesia, maka kita membuat gerbang ke
masa lalu untuk memahami apa yang terjadi pada saat pergolakan
kemerdekaan beserta latar belakangnya, sehingga kita bisa memandang masa
depan Indonesia dengan kacamata yang baru. Namun, bagaimana kita
melihat sejarah, kita membutuhkan konteks dari kejadian-kejadian masa
lalu secara lengkap dan hati-hati sehingga kita bisa memandang dengan
tepat.
Marilah kita mengingat mengapa pada awalnya
kita dijajah ? Meski penjajahan secara politis baru dimulai saat Pemerintah
Hindia Belanda berdiri untuk mengambil alih wilayah kekuasaan VOC pada tahun
1800, namun penjajahan secara ekonomi sudah terjadi sejak bangsa Eropa datang
ke Nusantara. Pembaca bisa membaca sejarah Nusantara di era 1800 bahwasanya
pulau Jawa dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian
langkah-langkah Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai seluruh wilayah
nusantara tidak berhenti hingga Pulau Jawa. Sebagian wilayah mulai dikuasai oleh
Belanda satu demi satu sampai ahmpir seluruh Nusantara dikuasai pada saat awal
1900. Demikian panjang usahan Belanda untuk menguasai Nusantara dan sedemikian
panjang pula pergolakan-pergolakan Nusantara untuk melawan hegemoni Belanda.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan Bangsa Belanda atau Bangsa Eropa
lainnya dalam menguasai wilayah-wilayah jajahan, namun berusaha untuk
mengingatkan bahwa perjuangan eksistensi sebuah bangsa itu diperlukan dalam
setiap jaman. Perjuangan eksistensi telah terbukti dengan lahirnya Negara
Republik Indonesia, namun perjuangan eksistensi secara ekonomi maupun peradaban
masih sangat jauh. Intinya, dalam setiap jaman diperlukan perjuangan sebuah
bangsa untuk diakui dalam kancah kehidupan ini.
Barangkali kita lupa dari proses perjalanan
sejarah masa lalu bahwasanya eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa
memerlukan waktu yang lama. Munculnya Sumpah Pemuda merupakan sebuah deklarasi
akan eksistensi sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Tanpa Sumpah pemuda yang
dideklarasikan 28 Oktober 1928, barangkali perjuangan politik tidak ada
artinya. Dengan adanya eksistensi sebuah bangsa maka kemudian muncul kesadaran
akan perlunya sebuah nation state. Ya, sebuah nation memerlukan sebuah state
atau Negara untuk hidup. Manuel Castells (2000) menganjurkan agar perlu
membedakan antara negara dengan bangsa. Negara adalah organisasi politik yang
secara eksternal merupakan kekuatan independen, dan secara internal adalah
kekuasaan tertinggi, dengan kekuatan utama ada di rakyat dan uang untuk
menjagai independensi dan otoritasnya. Paling tidak ada beberapa kasus yang bisa menjadi cerminan hubungan
bangsa dan Negara. Apabila castells (2000) mengamati kasus (1) nation without
state dan (2) nations against state maka kita bisa menambahkan nations
distributed into different states. Dalam relasi Negara dan bangsa,
Castell mengamati kasus Catalunia dan Uni Sovyet. Untuk kasus Catalunia
Castells menyebutnya sebagai nation without state sedangkan untuk kasus Uni Sovyet
sebagai nations against state.
Castells menggunakan bangsa Catalonia sebagai
kasus nation without state. Sedangkan kita bisa juga memasukkan bangsa
Palestina sebagai bangsa tanpa negara ketika masih harus hidup dibawah regim
Israel.Sedangkan bangsa Kurdi merupakan sebuah bangsa
yang masuk ke dalam negara yang berbeda-beda. Bangsa Kurdi yang bermukim
dan hidup di Kurdistan, yaitu wilayah pegunungan di Asia Barat yang termasuk
bagian dari Turki, Iran, Irak, Suriah, dan Armenia. Beberapa kali bangsa ini
mencoba untuk mendirikan Kurdistan Raya namun gagal, sehingga pada akhirnya
mereka lambat laun menerima tawaran otonomi khusus dari Negara tempat mereka
berada..
Sebutan suku-bangsa dan bangsapun menjadi kabur
ketika kita melihat suku Kurdi. Dalam konteks kebangsaan sebenarnya ia adalah Bangsa
Kurdi yang memiliki keterkaitan sejarah dan wilayah geografis. Dalam konteks
dimana ia berada maka ia masuk ke dalam sub-bangsa, missal dalam negara Irak
mereka masuk dalam kategori suku Kurdi, begitupun di wilayah negara Iran,
Turki, Suriah maupun Armenia.
Uni Sovyet lebih mirip dengan
Indonesia yang terdiri dari kelompok masyarakat yang beragam. Jaman dahulu Uni
Sovyet identik dengan bangsa Rusia, kendatipun di dalamnya banyak sekali
bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan masuk dalam Negara Uni Sovyet. Ketika
mengalami disintegrasi, maka lahirlah berbagai Negara-bangsa.
Nah, kasus Indonesia barangkali
unik karena proses perjalanan menjadi Republik Indonesia sekarang ini mengalami
proses yang berliku. Semoga tidak terjadi sebagaimana pada Negara Yugoslavia
dan Uni Sovyet karena akan terjadi pembalikan sejarah yang menyakitkan. Apabila
di NKRI mengalami disintegrasi, bukan hanya mengingkari perjanjian sacral Proklamasi
Kemerdekaan, namun juga mengingkari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Untuk itu marilah kita mengingat
kembali proses menjadinya sebuah bangsa yang terkristalisasi pada saat Sumpah
Pemuda 1928 untuk kemudian mengingat kembali proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945. Apakah yang terjadi apabila Sumpah Pemuda tidak ada ? dan apakah yang
terjadi apabila tidak pernah ada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ?
Akankah bangsa Indonesia ada ? Apakah sebuah Negara ada untuk merepresentasikan
bangsa/suku-bangsa yang mendiami nusantara ?
Perlu kita memaknai kembali makna
kemerdekaan Republik Indonesia ini di era globalisasi. Globalisasi memiliki
dampak akan apakah itu nation state. Dunia memang mengalami perubahan yang
pesat di era modern ini. Apabila paska Perang Dunia II membawa dampak diakuinya
kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan mendirikan sebuah Negara, maka setengah abad
kemudian kita mempertanyakan kembali eksistensi sebuah bangsa dan Negara dalam
kancah global.
<BERSAMBUNG>