Senin, 28 April 2014

Ratu Adil : antara konsepsi, realitas dan harapan ?

Di dunia ini, banyak istilah untuk menunjuk seseorang yang diharapkan muncul pada suatu waktu ketika terjadi chaos. 

Orang Indonesia yang masih memegang teguh tradisi akan mengatakan bahwa suatu saat akan muncul yang namanya Ratu Adil. Dalam tradisi Jawa, ratu adil ini disebut Ratu Adil Heru Chokro. 

Begitu pula dalam tradisi lain, ada suatu ramalan dan janji bahwasanya akan muncul tokoh yang akan menyelamatkan bumi ini.

Saya menilai bahwa ratu adil dalam berbagai bahasa tersebut menjadi tiga kategori :
  • Suatu konsepsi yang dicangkokkan secara turun temurun,
  • Sehingga menjadi suatu harapan dan doa,
  • Yang kemudian terwujud menjadi suatu realitas
Apabila ditanyakan pada setiap manusia di bumi ini, apabila memungkinkan melakukan hal itu, paling tidak hampir seluruh manusia di bumi ini akan memilih suatu kondisi stabil, makmur, sentaosa dan berbagai hal positif lain. Sedangkan sebagian kecil saja yang menginginkan perang dan kekacuauan karena penghidupannya berasal dari perang dan kekacauan. Konsepsi ini diinginkan dan dicangkokkan ke dalam alam bawah sadar melalui repetisi dan pengulangan sehingga anak turun manusia memiliki suatu harapan dan doa, sehingga kelak terjadi kerusuhan, peperangan dan perpecahan. 

Ketika Pangeran Diponegoro memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda, rakyat di Jawa menganggap bahwa Pangeran Diponegoro adalah sang ratu adil. Meski sebagian sejarahwan akan mengatakan bahwa pemberontakan sang pangeran dikarenakan karena penggusuran tanah milik beliau, namun saya lebih sependapat dari sebagian sejarahwan yang mengatakan peristiwa penggusuran adalah pemantik. Pada saat itu, keadaan di dalam kraton diwarnai dari hegemoni Hindia Belanda di semua bidang di keraton, mulai dari sisi kekuasaan adminsitratif, sampai dengan pengaruh hedonisme Belanda dalam kehidupan sehari-hari di dalam kraton. Sementara di luar benteng kraton, masyarakat sangat menderita akibat Belanda. Masyarakat pada waktu itu menganggap Pangeran Diponegoro adalah Ratu Adil yang dijanjikan. Apakah tokoh-tokoh yang muncul saat ini ada yang dianggap Ratu Adil ? Saya lebih baik tidak mempercayai itu saat ini.

Saya tidak berusaha untuk mengatakan bahwa Ratu Adil hanyalah mitos dan legenda, namun sementara saya sebagai orang awam tidak bisa melahirkan Ratu Adil, maka bagi saya, bukankan lebih baik apabila kita bersama-sama menyelamatkan diri, keluarga dan lingkungan kita dari api neraka dan dari semua perbuatan buruk dengan cara yang baik. Saya yakin, Ratu Adil itu akan muncul apabila banyak orang yang berbuat kebijakan secara mikro di dalam lingkungannya, meski para politikus, pejabat dan para sengkuni merajalela dimana-mana...Yakinlah, bahwa Tuhan itu tidak tidur.....Gusti Allah iku ora sare.....


Membaca : Memahami Realitas "di luar sana"

Iqra bismi rabbikalladzikhalaq, "bacalah dengan asma Tuhan yang menciptakan".

Apabila perintah tersebut hanya berbunyi, "Iqra' bismi" atau bacalah saja tanpa menggunakan "dengan asma Tuhan yang menciptakan".

Misalnya berbunyi, "bacalah dengan nafsu-mu" apakah akan berbeda dalam melihat realitas ?

Sebagian besar dari pembaca barangkali ada yang mengangguk-angguk mengerti jawabannya, namun sebagian pasti akan mengernyitkan dahi dan bergumam, "ke arah mana pertanyaan orang sinting ini ?". Bagaimana mungkin seorang atheis bisa membaca realitas dengan asma Tuhan, padahal seorang ateis tidak percaya Tuhan ? Apakah realitas yang dilihat seorang yang beriman akan sama dengan realitas yang dilihat oleh orang ateis ?

Sebuah dialog antara orang beriman dan ateis tentunya sering terjadi di dunia maya di era social media ini. Pertanyaan yang sering muncul biasanya, "siapakah yang menciptakan semesta ini ?". Pernah perdebatan terjadi antara seorang ilmuwan Fisika yang meyakini adanya Tuhan sebagai Pencipta semesta dan seorang ilmuwan Fisika yang tidak meyakini Tuhan sebagai Pencipta semesta. Perdebatan tersebut sebagaimana perdebatan serupa sebelumnya berakhir tanpa kesimpulan dan masing-masing kembali ke rumah "paradigma" masing-masing. 

Padahal kalau kita amati, si Fisikawan ber-Tuha maupun yang tidak ber-Tuhan tidak bisa membuktikan ada tidaknya Tuhan hanya dengan ilmu Fisika. Mengapa ? Karena ilmu Fisika tersendiri menggunakan epistimologi yang berbeda dalam melihat alam raya sebagai semesta. Bagaimana epistimologi yang berbeda dalam melihat "dunia luar sana" dapat menghasilkan hasil analisis yang sama ?

Perdebatan semacam ini sebenarnya sudah muncul jaman dahulu lewat perbedaan "pandangan" al-Ghazali dan ibnu Rusyd. al-Ghazali menyebut "kerancuan Filsafat" atau Tahafut al-Falasifah sedangkan ibnu Rusyd menyebutkan tentang Tahafut at-Tahafut atau "kerancuan dalam kerancuan". Banyak para pengamat jaman sekarang yang langsung memvonis "sesat" dan kafir pada ibnu Rusyd. Sebaliknya, banyak pula yang mengatakan al-Ghazali itu kolot dan kuno, terutama dari kalangan orang modern. Dan tidak sedikit pula "orang-orang yang mendeklarasikan hidup di atas sunnah" mengatakan bahwa al-Ghazali itu tidak memakai landasan al-hadits dan as-sunnah. Tidak sedikit pula yang akan memvonis ibnu 'Arabi sesat dan musyrik serta tidak berlandaskan al-Qur'an dan as-sunnah. Padahal kalangan yang berkata demikian apabila ditanyain mengenai sanad dan matan juga tidak akan mampu karena belajar dari orang yang tidak tahu pula.

Kembali kepada judul, "Membaca : Memahai Realitas di luar sana", lalu apabila demikian bagaimanakah kita akan memahami "bagaimana memahami realitas" di luar sana ?

Melihat realitas di luar sana, atau iqra' tentunya membutuhkan alat epistimologi (ilmu), baik itu alat epistimologi (ilmu) hushuli atau ilmu melalui perantaraan konsep atau ilmu kehadiran (hudhuur). Selanjutnya, apabila itu ilmu hushuul maka akan terjadi bounded reality dan conceptual boundary. Misalnya, seorang sosiolog akan melihat realitas yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan "kacamata" seorang sosiolog, begitupun seorang ekonom.

Untuk yang kedua, conceptual boundary terjadi karena ilmu hushuuli dapat dilihat melalui perantaraan konsep. Dalam arti kata, keahlian keilmuwan untuk melihat realitas diperlukan apabila aspek yang dilihat itu diperlukan. Misalnya pada kasus pelecehan dan sodomi di sebuah sekolah internasional bisa dilihat dari berbagai perspektif keilmuwan. Televisi yang ingin mendatangkan narasumber tentunya memerlukan mapping akan sudut pandang mana yang diperlukan. Misalnya, dari sudut pandang sosial, psikologis, hukum, psikologi anak, kriminalitas dsb.

Ilmu hudhuur atau ilmu dengan kehadiran dimana sang pengamat dan yang diamati berada pada ruang-waktu yang sama tanpa batas antara si pengamat dan yang diamati. Ilmu hudhuur dalam tasawuf adalah ilmu yang diperoleh dengan kehadiran. Berikut ini cuplikan dari sebuah blog yang menyajikan buah pandangan Mulyadhi Kartanegara :

Ilmu hushuli adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari objek yang ada di luar kita secara objektif. Misalnya pengetahuan tentang meja dan gelas yang ada di atasnya. Menurut ahli ilmu hudhuri, sebuah benda yang ada di hadapan kita, selalu memiliki dua macam objek. Objek subjektif yang ada atau hadir dalam diri (pikiran) kita, dan objek objektif yang ada di luar diri kita. Objek yang di luar diri kita disebut bentuk (shurah), sedangkan objek yang ada di dalam diri kita disebut makna. Ilmu hushuli dimungkinkan tapi tanpa jaminan kebenaran. Ia dicapai oleh manusia berdasarkan pada "keserupaan" atau "korespondensi" antara bentuk dan makna. Kalau korespondensi ini berkorelasi positif, maka pengetahaun dikatakan benar, kalau negatif maka dikatakan salah atau keliru.
Berbeda dengan midus ilmu hushuli, ilmu hudhuri pada umumnya berhubungan dengan makna atau objek subjektif yang sudah "dihadirkan" dalam diri kita. Ia bukan tentang objek objektif yang berada di luar diri kita, sehingga objek ini disebut absen atau tidak hadir dalam diri kita dan tidak bisa kenal secara langsung atau intuitif. Sebaliknya ilmu hudhuri selalu menangkap objeknya secara langsung, karena ia telah "hadir" dalam diri kita. Dan justru karena ia telah hadir dalam diri kita, maka kita mengetahui objek tersebut seperti kita mengetahui diri kita sendiri. Dari sinilah muncul konsep self-knowledge, pengetahuan tentang diri sendiri. Dalam pengetahun diri, karena subjek dan objek adalah sama, maka jurang yang biasanya menganga antara subjek dan objekpun telah terjembatani. Maka terjadilah identitas (kesamaan) antara subjek dan objek. Pengetahuan diri sedemikian langsungnya, karena tanpa simbol apapun, sehingga kebenarannya pasti terjamin, karena di sini knowing (mengetahui) adalah sama dengan ada (being), ringkasnya "knowing is being," di mana pengetahuan telah menjadi wujud itu sendiri.
Namun, ilmu hudhuuri ini hanya bisa didapat melalui pembersihan (tazkiyyatul) nafs.

Ratu Adil : The Emergence of Grassroot Movement (3)

Tulisan-tulisanku mengenai gerakan akar-rumput mungkin tidaklah sepanas rekan-rekan yang memandang dari sudut pandang gerakan sosial. Apabila artikulasi gerakan akar rumput menggunakan terminologi mereka barangkali grassroot movement serupa dengan "melawan kapitalisme global".

Perjuangan akar rumput ini diperlukan untuk menggerakkan semua elemen di pedesaan sebagai soko guru revolusi ekonomi pembangunan bangsa.Gerakan "one-village-one product" dan inisiatif Indikasi Geografis seharusnya diintegrasikan dengan sistem lokalitas yang telah ada. Perlu dilakukan integrasi yang memperhatikan ke-khas-an setiap daerah, bukan hanya dalam hal produk atau komoditas unggulan namun juga interaksi sosial yang ada di dalamnya. 

Keberhasilan sebuah bangsa sangat dipengaruhi bagaimana mengenal diri dan lingkungannya. Bangsa Jepang berhasil dalam membangun ekonomi paska Perang Dunia karena berhasil mengadopsi paradigma ekonomi yang ditawarkan oleh Amerika Serikat, dimodifikasi sedmeikian rupa sehingga justru Amerika Serikat belajar dari Jepang. 

Kesalahan kita adalah, selama ini kita mengadopsi paradigma dari negara negara maju, namun tidak berhasil melakukan transformasi. Hal ini menjadikan setiap upaya pembangunan bersifat a-historis sehingga keterkaitan antara paradigma pembangunan sering sekali tidak fit dengan karakter inherent bangsa Indonesia. Alhasil, setiap upaya dalam pembangunan selalu menunjuk hidung bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bebal, bodoh dan goblok.




Kemampuan Membaca Manusia

Dalam al-Qur'an sebuah ayat berbunyi, "iqra bismi rabbikalladzi khalaq". Bacalah dengan asma Tuhan-mu yang menciptakan. Sedangkan beberapa artikel menyebutkan tentang tafsir sebuah ayat yang berbunyi, "nun, wa qolami wa maa yasyturuun" atau terjemahan bebasnya, "Nun, dan pena dan apa yang ia tulis". Beberapa literatur tasawuf-falsafi banyak yang menafsirkan bahwa pena yang disebut adalah Pena Illahi yang menuliskan segala bentuk realitas kehidupan ini.Dan manusialah yang diberi kapasitas untuk membaca ayat-ayat kehidupan.

Ya, manusialah yang diberi kapasitas untuk itu. Namun, bagaimana manusia membacanya tentunya ada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Karena alat epistimologi untuk membaca ayat-ayat kehidupan perlu dibersihkan dan dikalibrasi setiap waktu.

Mengapa demikian ?

Dalam banyak sekali artikel mengenai "human cognition" dikatakan bawah manusia memiliki keterbatasan dalam melihat realitas atau disebut juga "bounded reality". Nah, keterbatasan manusia inilah yang kemudian akan melihat ayat-ayat kehidupan ini berbeda-beda. 

Sebagai ilustrasi, kita bertanya pada tiga orang yang berbeda mengenai buah apel jatuh dari pohon. Si A bisa melihat itu sebagai suatu hal yang biasa sebagai kehendak Tuhan. Si B bisa melihat bahwa apel jatuh dari pohon pasti ada gaya yang menarik ke bawah. Sedangkan si C barangkali tidak terlalu peduli dengan hal itu.

Jawaban si A sebagai seorang insaan yang sangat rendah hati terhadap Tuhan, maka melihat bahwasanya segala sesuatu di muka bumi ini sudah diatur dengan hukum-hukum-Nya. Si B sebagai seorang scientist senantiasa jagad raya ini untuk dieksplorasi sehingga ditemukan Kebenaran Hakiki di atas semua kejaidan-kejadian. Sedangkan si C adalah sebagain besar dari kita yang tidak terlampau mempersoalkan apa yang terjadi.

Manusia bisa melihat kejadian yang sama di luar dirinya namun dengan interpretasi yang berbeda-beda satu sama lain. Sehingga "kemampuan membaca" ayat-ayat-pun akan berbeda satu sama lain pada level yang berbeda pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila interaksi antar sudut pandang yang berbeda-beda ini apabila dikolaborasikan secara tepat akan mendatangkan sebuah kebersamaan. Namun, bagaimanakah keberagaman dalam sudut pandang itu bisa disatukan ? Karena bagaimana memandang sebuah realitas akan berpengaruh pada apa yang harus diperbuat dan bagaimana menyatukan langkah untuk mencapai suatu harapan ?





Senin, 14 April 2014

Cinta dalam Karya

Konon katanya Tuhan mencipta jagad semesta ini dengan cinta. Cinta yang serba-melingkupi, yang mengaitkan semua level realitas ciptaan-Nya. Tuhan-pun memberikan potensi cinta pada setiap insaan ciptaan-Nya. Pernahkah kita mendengar kisah para penyair, pematung dan seniman lainnya menghasilkan karya yang monumental ? Pernahkah kita memperhatikan betapa beberapa syair musik dan komposisinya tidak hilang ditelan jaman, sedangkan beberapa lainnya hanya bertahan sementara ? Pernahkah kita mendengar kisah betapa seorang chef, dengan cintanya menghasilkan masakan yang lezat hanya dengan membayangkan keindahan racikannya ?

Ya, cinta dalam karya-karya agung menggema dalam keabadian, sedangkan sebagian habis ditelan jaman.

Dalam konsep modern, disebutkan tentang passion atau meminjam istilah Arab, disebut sebagai ghirrah atau terjemahan bebasnya sebagai ghairah. Sebuah konsep yang mengutarakan akan pentingnya mencintai apa yang kita kerjakan sehingga hasil yang didapat akan maksimal.

Dalam konsep sufistik ada istilah hubb atau cinta dimana cinta dan kreasi tidaklah dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Tuhan mencipta segala hal dalam jagad semesta ini dengan Rahman dan Rahiim-Nya. Tidak ada aktivitas bagi orang yang mengaku muslim yang tidak dilakukan dengan Bismillahirrahmannirrahimm, dengan asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kalimah inilah yang mengaitkan antara cinta pada dimensi materiil dan spiritual.

Tuhan mencipta segala sesuatu dengan cinta, termasuk di dalamnya kemampuan mencipta manusia dalam mencipta yang merupakan kemampuan yang diberikan oleh al-Khaliq kepada makhluq-Nya. Bismillahirrahmannirrahiim merupakan kata yang mengaitkan passion dalam berkarya dan hubb Allah dalam setiap langkah menghasilkan karya.

Cintailah Tuhan-mu, Cintailah hidup-mu, Cintailah semua gerak langkah dalam hidupmu, Cintailah semua karyamu

Sabtu, 12 April 2014

Mengenal Diri

Man 'arafa nafsahu faqodl 'arafa Rabbahu

Kenalilah diri-mu maka (engkau) akan mengenal Tuhan-mu.

Bagaimanakah diri apabila tidak mengenal Tuhan, lalu bagaimanakah mengenal Tuhan ?

Tuhan telah menyatakan bahwa terdapat bukti-bukti kekuasaan-Nya dalam bentuk ciptaan dalam semesta dan dalam diri mereka sendiri.

Dengan kata lain, kita tidak bisa mengenal diri tanpa mengenal Tuhan, dan untuk mengenal Tuhan tidak ada cara lain selain melihat ciptaan dalam diri sendiri maupun dalam semesta.

Tidak ada diri-ku (aku) apabila tidak ada diri-mu (engkau) karena hanya dengan mengenal engkau-lah maka diri-ku ada. Ada semacam paradoks disini karena untuk mengenal diri harus mengenal ciptaan Allah yang lain ?

Cogito ergo sum tidalah sepenuhnya salah. Banyak sekali spiritualis yang mengatakan bahwa kalimat Descartes menunjukkan kesombongan dan ke-aku-an. Namun sebenarnya berfikir itu sendiri tidak mungkin terjadi apabila tidak ada obyek yang difikirkan oleh pemikir sebagai subyek.

Afalaa ta'qiluun, "apakah mereka tidak berfikir ?". Apakah mereka tidak berfikir mengenai apa yang ada dalam semua fenomena dan kejadian ? Dari sinilah Allah menantang seorang insaan untuk berfikir mengenai orang-orang yang tidak berfikir sebagai cerminan. 

Perbedaan antara kalimat umum Descartes adalah identitas "aku" dalam posisinya dalam kehidupan dengan afalaa ta'qiluun adalah afalaa ta'qiluun meletakkan manusia dalam posisi insaan yang ber-Tuhan sedangkan Descartes merupakan kalimat umum yang menyatakan "aku" itu ada apabila seorang manusia berfikir. Berfikir mengenai diri, mengenai lingkungan alam berikut mengenai lingkungan manusia.

Dalam literatur tasawuf, ada istilah Higher Self dimana Higher Self merupakan suatu fakultas kesadaran tertinggi yang merupakan cerminan dari Tuhan. Higher Self ini hanya terdapat dalam diri seorang manusia dan tidak terdapat pada makhluq ciptaan lain. Disinilah Allah berfirman yang maknanya adalah "gunung-gunung tidak mampu menampung Asma-Ku, tapi hamba-Ku yang beriman mampu untuk menampung".  Dalam level yang lebih rendah lagi ada Universal Self atau Diri Semesta. Dalam beberapa tradisi timur ada yang mengatakan, "Tuhan adalah semesta" atau Self dalam level semesta. Higher Self dan Universal Self ini dalam konsep Martabat Tujuh atau the seven level of self terdapat level-level : Ahadiyah, Wahda, Wahidiyah, Arwah, Ajsam, Mitsal, Ajsaam dan Insan Kamiil. Ajaran Martabat Tujuh mengajarkan bahwa Allah bertajali dalam ketujuh dimensi. Pada dimensi paling bawah adalah Insaan Kamiil. Insan Kamiil ini adalah tahapan manusia sempurna atau Higher Self. 

Higher Self muncul dalam diri manusia tercerahkan yang telah melalui dialektika kehidupan. Ya, inilah yang disebutkan oleh Hegel sebagai dialektika di dalam diri manusia. Secara ringkas, membaca pendapat Hegel sama dengan mengintegrasikan tiga filsuf kesohor sebelumnya, yaitu Kant, Fichte dan Schelling.

Pendapat utama Fichte terletak pada pemahaman atas diri yang disebut "Aku" atau "Ego". Dalam Islam, diri ini disebut sebagai nafs.  Menurut Fichte, “Aku” ini merupakan unsur terpenting dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan perenungan. Hal ini sama dengan pendapat Descartes yang mengatakan Cogito ergo sum. Namun demikian, Fichte berpendapat bahwa  Aku tidaklah sendirian. Aku ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku.

Dalam konteks ini, sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga, dengan pergumulan Aku yang lain, Aku menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Bahasa sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi tidak bebas.
Dalam konteks dialektika, pendapat Fichte dapat dirumuskan menjadi

Aku ini sadar (tesis) - Ada Aku lain (antitesis) – Aku dan Aku lain saling membatasi (sintesis)

Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri "roh") ataupun objektif (berciri "materi"). Aku mengatasi keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat dipandang sebagai Aku.

Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian:

Aku yang lain atau alam (tesis) – Aku individu atau manusia (antitesis) – Aku yang bukan materi dan roh (sintesis).

Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu merumuskan sesuatu yang "sederhana" dibandingkan dua pendapat filsuf itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya atas masalah ini menjadi:
 

Idea (tesis) - Alam (antitesis) - Roh (sintesis)