Senin, 05 Mei 2014

Metropoliningrat : feodalisme di era modern ataukah modernitas yang mengakar budaya ?

Ngayogykarta Metropoliningrat. Halo Jogja, sudah beberapa waktu ini tidak kedengaran geliat teriakan "Jogja Istimewa" di ruang media. Kalaupun Jogja disebut-sebut adalah karena berada di lereng sebuah gunung aktif yang mendunia. Apakah kalian warga Jogja sudah lupa akan identitasmu, ataukah ber-metamorfosa sesuai dengan slogan, "alon-alon waton klakon" ?

Kalaupun masih banyak yang menyebutkan bahwa orang Jogja adalah orang-orang lambat dan tenang, mungkin anda harus pergi ke Jogja sekarang. Di era 80-an, ketika aku masih kecil, ke-adi luhung-an Ngayogyakarta sangat dikagumi.Saat ini, sebagaimana kota-kota lain di seluruh dunia, Jogja mengalami gempuran modernitas menggerus akar budaya masa lalu, mentransformasikannya menjadi sebuah mesin produksi masal penghasil nilai rente yang menggurita.

Namun demikian, ada sesuatu yang unik dengan Yogyakarta sebagai sebuah kota maupun sebagai sebuah Daerah Istimewa dalam bingkai republik. Ia menjadi sebuah refugee akan nilai masa lalu di satu sisi, namun juga menjadi pelarian modern untuk berbelanja dan berkuliner. Kontradiksi ini terbangun sejak geliat pertumbuhan ekonomi paska gempa 2006. Pada tahun 2008, perekonomian Jogja mengalami pertumbuhan pesat. Entah pertumbuhan itu disebabkan oleh investasi dari luar

Kreativitas Jogja : sebuah modal sosial atau sekedar branding ?

Beberapa hari yang lalu aku terjun ke wilayah lereng Merapi di Sleman, Jogjakarta. Memang, tidak dapat dipungkiri, aktivitas Merapi beberapa hari terakhir menyulut kepanikan warga. Namun seiring dengan waktu, warga-pun sudah tenang kembali.

Aku sempatkan berdiskusi dengan teman lama-ku yang banyak berkecimpung dengan dunia pergerakan pemuda dan LSM Kelompok Lingkar Merapi (KLM) yang bertugas melakukan mitigasi bencana di wilayah lereng Merapi.

Dia sempat menanyakan pendapatku sebagai orang yang tinggal di luar DIY mengenai Jogjakarta, khususnya wilayah Sleman. Aku pun menanggapi-nya dengan berseloroh bahwa bagaimana orang risau dengan potensi Sleman, ketika Sleman secara tidak sadar sudah dipasarkan oleh "Mbah Merapi".

Dua hari kemudian aku bertemu teman lama yang bergerak di bidang per-kopi-an. Ia mengatakan bahwa harga kopi robusta Merapi lumayan mahal dibandingan dengan robusta dari daerah lain. Menurut keterangan beberapa orang yang berkompeten dalam perdagangan kopi adalah, kopi Merapi dikemas apik dalam kemasan bertuliskan kopi "Merapi". Sebuah branding gratis alamiah yang mampu menyedot wisatawan manca maupun dalam negeri dengan harga non-commodity. 

Kreativitas di Jogja barangkali bisa disejajarkan dengan kreativitas kawula Bandung maupun Bali yang memiliki skill dan kreativitas. Keberadaan Jogja di blantika nasional bisa disejajarkan dengan Bandung dan Bali. Wilayah-wilayah dengan modal sosial dan brand kreativitas dalam berkreasi. Pertanyaannya adalah, apakah kreativitas tersebut merupakan sebuah modal sosial untuk membangun wilayah atauah sekedar branding yang lama-kelamaan bisa terlarut dalam geliat jaman ?

 



Duduk di dua kedai kopi yang berbeda

Di Jogjakarta, orang bisa memilih kopi berdasarkan tempat tongkrongannya. Selama empat hari aku keliling Jogja (dan sekitarnya) untuk menikmati kopi. Sebagian besar kedai kopi di Jogjakarta memang terletak di wilayah Sleman Selatan, yaitu wilayah Depok dan Mlati, yaitu dua Kecamatan di Sleman yang pesat sekali pertumbuhannya.

Aku nongkrong di dua kedai kopi single-origin yang hanya menjual kopi arabica dan dua kedai kopi yang menjual kopi robusta (yang murah) dan berbagai menu kelas mahasiswa. 

Orang bilang, kedai kopi adalah bisnis yang mengandalkan pada jaringan sosial atau social network. Dari pengalaman nongkrong di kedai kopi kelas mahasiswa aku menemukan sebuah dinamika yang berbeda dengan kedai kopi kelas atas yang menyajikan arabica robusta. Berbeda pula dengan saat aku survei di beberapa kedai kopi khas tukang becak dengan berbagai dinamika masyarakat bawah.

Di kedai kopi kelas mahasiswa dan kelas tukang becak, harga boleh dikatakan murah meriah, sedangkan kedai kopi khas kelas atas lebih menyajikan tempat yang cozy dan elegant lifestyle. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena harga kopi di kedai single origin memang lumayan mahal. Rajikan kopi tubtuk single-origin dibandrol 15 ribu sedangkan harga lainnya lebih dari itu. Kalangan yang nongkrong-pun berbeda, mulai dari mahasiswa kelas atas, manajer proyek, pengusaha, free-lance dsb. Motivasi nongkrongpun berbeda, mulai dari diskusi proyek, diskusi filsafat sampai dengan negosiasi harga jual-beli barang.

Kedai kopi kelas mahasiswa, merupakan tempat kongkow-kongkow dari diskusi-diskusi ringan sampai berat. Perbedaan antara kedai kopi kelas atas dan kelas mahasiswa adalah harga sajian. Karena kualitas diskusi di kedai atas dan mahasiswa tidak terlalu berbeda alias "di awang-awang". Hal ini berbeda dengan diskusi kelas kedai kopi tukang becak di wilayah Malioboro yang sering sekali jadi tempat curhat kehidupan sehari-hari dan diskusi politik kelas kacangan.


Ngayogyakarta Metropoliningrat : Geliat renaissance antara masa lalu, masa kini dan masa depan

Sebuah kota dalam sebuah daerah istimewa sedang menggeliat. Dahulu kala, daerah istimewa ini disebut Ngayogyakarta Hadiningrat, yang terdiri dari beberapa kabupaten dan sebuah kota. Daerah ini didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian hari disebut sebagai Sultan Hamengkubuwono I.

Wilayah ini tidak ada bedanya dengan Daerah Istimewa Surakarta yang pada saat berdiri dianugerahi ke-Istimewaan, namun kemudian dihapuskan karena terjadi gerakan anti-swapraja yang kemudian membawa dampak padapenghapusan keistimewaan karatuan Solo.

Beberapa waktu yang lalu aku pulang ke kampuang halaman sana, nun jauh di mato, ke daerah Sleman. Daerah Sleman ini merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta atau dahulu disebut Ngayogyakarta Hadiningrat. Ketika orang mendengar kata Yogyakarta atau Jogja, pasti akan membayangkan Malioboro, Kraton, Prambanan dan Borobudur. Padahal Prambanan itu separuh berada di kabupaten Sleman dan separuhnya lagi masuk wilayah kabupaten Klaten. Sedangkan Borobudur masuk ke Kaupaten Magelang yang masuk ke daerah Jawa Tengah. Citra Ngayogyakarto tidak bisa lepas dari destinasi wisata di sekitarnya, bahkan sebentar lagi, Ngayogyakarta Hadiningrat akan menjadi Ngayogyakarta Metropoliningrat dengan beberapa satelit-nya.

Apabila Jakarta memiliki Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang, maka Yogyakarta akan memiliki Sleman, Magelang, Gunungkidul, Klaten dan wilayah sekitarnya yang turut serta "terpengaruh" aura pariwisata Yogyakarta.

Jaman dahulu, orang Magelang, Purworejo, Kebumen dan sekitarnya menaruh hormat kepada pusat Ngayogyakarta Hadiningrat karena keberadaan Sang Raja di singgasananya. Aura dampar kencana mepengaruhi wilayah "satelit" nGayogyakarta. Namun nampaknya, aura dampar kencana dewasa ini bergeser menjadi dampar kesejahteraan. Hal ini tidak berlebihan, karena apabila Sri Sultan HB IX mengatakan "Tahta untuk Rakyat" maka penerus sinuhun IX menjadikan slogan, "Tahta untuk Kesejahteraan Rakyat". Jadi tidaklah berlebihan apabila kesejahteraan rakyat dipicu oleh pertumbuhan ekonomi yang berpusat pada budaya.

Karena kebudayaan Jawa yang dilestarikan oleh keraton Mataram Jogja mendatangkan wisatawan. Iklim pendidikan yang dahulu terbentuk berkat pendirian UGM oleh sinuhun IX menjadikan Jogja sebagai salah satu tempat belajar. Bahkan banyak sekali mantan pelajar dan mahasiswa yang tidak kembali ke daerahnya, namun menetap di kota Jogja (baca : dan wilayah sekitarnya). Boleh dikatakan di Jogja muncul keberagaman budaya dan pola fikir dalam suatu wadah.

Perkembangan Ngayogyakarta Hadiningrat dewasa ini mengarah kepada terbentuknya sebuah "wilayah baru" yang memiliki kultur pluralis dan berbeda dengan sebelumnya. Wilayah baru tersebut dinamakan Ngayogyakarta Metropoliningrat atau Jogja wilayah metropolis baru.

Bagaimana tidak ? Dewasa ini, wilayah Gejayan, Jalan Kaliurang, Jalan Magelang dan berbagai wilayah lainnya menjadi sangat padat. Padahal di era 80-an wilayah ini boleh dikatakan sunyi senyap dan tidak banyak yang mendiami. Dewasa ini banyak berdiri toko hp, distro, kafe, dan lain sebagainya. Berdasarkan informasi, bahkan berdiri juga prostitusi terselubung di kos-kos wanita, terselubung salon dan panti spa-pijat.

Sebuah kontradiksi, antara masa lalu yang lekat dengan budaya adiluhung dan masa kini yang penuh dengan dunia gemerlap. Banyak sekali gejala orang asli terdorong ke pinggiran dan pendatang menguasai wilayah tengah. Tidak dapat dipungkiri, kerisauan urang Sunda di Bandung, orang Betawi di Jakarta akan terjadi di Ngayogyakarta Metropoliningrat, sebuah blend kening-rat-an dengan kemetropolitan-an. Bahkan lebih dahsyat dibandingkan dengan wilayah lain.

Sebuah dialektika sedang terjadi, antara masa lalu-masa depan dengan tradisionalitas-modernitas yang barangkali akan menghasilkan masyarakat masa depan yang postmodern. Keingingan DIY adalah seperti propinsi Bali, namun apakah akan terwujud sebuah masyarakat seperti halnya di Bali ataukah lebih baik atau lebih buruk ? Sebuah tantangan bagi pengelola Daerah maupun Kota/Kabupaten. Mari berharap yang terbaik dari Jogjakarta.




Mengapa ngga memohon untuk kaya ?

"Memohonlah kepada Allah untuk diberikan kesabaran", kata temenku ketika aku diberi ujian oleh Allah. Ada pula temenku yang bilang, "memohonlah kepada Allah agar menjadi orang pilihan".

Hehehehehehe

Sori ya, aku ndak akan memohon kepada Tuhan, hal-hal yang membuatku menerima apapun diluar kemampuanku. 

Sering sekali manusia memohon kepada Allah, hal-hal yang diluar kemampuan manusia. Termasuk di dalamnya menjadi orang yang sabar. Tentunya menjadi orang yang sabar itu melalui suatu bentuk rangkaian ujian yang berat sehingga menjadi sabar. Begitupun, di semesta ini tidak ada yang menjadi pilihan tanpa proses penggosokan terlebih dahulu, lihatlah berlian yang harus digosok-gosok sehinga mengkilat.

Kita sering sekali merasa menjadi orang beriman sehingga merasa sudah berhak untuk "menantang" Tuhan untuk memberikan ujian yang berlebihan. Padahal bagi Tuhan, memberikan ujian yang bertubi-tubi sebenarnya sudah diukur kadarnya.

Bagaimana memohon untuk diberi keleluasaan ? Seperti misalnya, memohon untuk kaya, memohon dilimpahi ilmu dan sebagainya. Bukankah kaya dan ilmu adalah termasuk asma'ul husnaa ? Bukankah al-ghaniyyu dan al-alim adalah asma-Nya dimana kita diperintahkan berdoa melalui asma-Nya ?

Sering sekali kita itu sombong, sudah merasa hebat dan sesumbar sudah lupa sama dunia. Well, bagaimanakah bisa dikatakan lupa sama dunia apabila menyebut-menyebut terus ?

Be smart. Bukankah Allah sudah memberikan keleluasaan untuk manusia buat hidup dan menghidupi ? Janganlah kita meminta yang berat-berat kepada Allah. Mintalah yang ringan-ringan saja, karena meminta yang ringan adalah tanda seorang hamba yang merasa tidak memiliki kuasa atas apa-apa. Itulah hamba.

Senin, 28 April 2014

Ratu Adil : antara konsepsi, realitas dan harapan ?

Di dunia ini, banyak istilah untuk menunjuk seseorang yang diharapkan muncul pada suatu waktu ketika terjadi chaos. 

Orang Indonesia yang masih memegang teguh tradisi akan mengatakan bahwa suatu saat akan muncul yang namanya Ratu Adil. Dalam tradisi Jawa, ratu adil ini disebut Ratu Adil Heru Chokro. 

Begitu pula dalam tradisi lain, ada suatu ramalan dan janji bahwasanya akan muncul tokoh yang akan menyelamatkan bumi ini.

Saya menilai bahwa ratu adil dalam berbagai bahasa tersebut menjadi tiga kategori :
  • Suatu konsepsi yang dicangkokkan secara turun temurun,
  • Sehingga menjadi suatu harapan dan doa,
  • Yang kemudian terwujud menjadi suatu realitas
Apabila ditanyakan pada setiap manusia di bumi ini, apabila memungkinkan melakukan hal itu, paling tidak hampir seluruh manusia di bumi ini akan memilih suatu kondisi stabil, makmur, sentaosa dan berbagai hal positif lain. Sedangkan sebagian kecil saja yang menginginkan perang dan kekacuauan karena penghidupannya berasal dari perang dan kekacauan. Konsepsi ini diinginkan dan dicangkokkan ke dalam alam bawah sadar melalui repetisi dan pengulangan sehingga anak turun manusia memiliki suatu harapan dan doa, sehingga kelak terjadi kerusuhan, peperangan dan perpecahan. 

Ketika Pangeran Diponegoro memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda, rakyat di Jawa menganggap bahwa Pangeran Diponegoro adalah sang ratu adil. Meski sebagian sejarahwan akan mengatakan bahwa pemberontakan sang pangeran dikarenakan karena penggusuran tanah milik beliau, namun saya lebih sependapat dari sebagian sejarahwan yang mengatakan peristiwa penggusuran adalah pemantik. Pada saat itu, keadaan di dalam kraton diwarnai dari hegemoni Hindia Belanda di semua bidang di keraton, mulai dari sisi kekuasaan adminsitratif, sampai dengan pengaruh hedonisme Belanda dalam kehidupan sehari-hari di dalam kraton. Sementara di luar benteng kraton, masyarakat sangat menderita akibat Belanda. Masyarakat pada waktu itu menganggap Pangeran Diponegoro adalah Ratu Adil yang dijanjikan. Apakah tokoh-tokoh yang muncul saat ini ada yang dianggap Ratu Adil ? Saya lebih baik tidak mempercayai itu saat ini.

Saya tidak berusaha untuk mengatakan bahwa Ratu Adil hanyalah mitos dan legenda, namun sementara saya sebagai orang awam tidak bisa melahirkan Ratu Adil, maka bagi saya, bukankan lebih baik apabila kita bersama-sama menyelamatkan diri, keluarga dan lingkungan kita dari api neraka dan dari semua perbuatan buruk dengan cara yang baik. Saya yakin, Ratu Adil itu akan muncul apabila banyak orang yang berbuat kebijakan secara mikro di dalam lingkungannya, meski para politikus, pejabat dan para sengkuni merajalela dimana-mana...Yakinlah, bahwa Tuhan itu tidak tidur.....Gusti Allah iku ora sare.....


Membaca : Memahami Realitas "di luar sana"

Iqra bismi rabbikalladzikhalaq, "bacalah dengan asma Tuhan yang menciptakan".

Apabila perintah tersebut hanya berbunyi, "Iqra' bismi" atau bacalah saja tanpa menggunakan "dengan asma Tuhan yang menciptakan".

Misalnya berbunyi, "bacalah dengan nafsu-mu" apakah akan berbeda dalam melihat realitas ?

Sebagian besar dari pembaca barangkali ada yang mengangguk-angguk mengerti jawabannya, namun sebagian pasti akan mengernyitkan dahi dan bergumam, "ke arah mana pertanyaan orang sinting ini ?". Bagaimana mungkin seorang atheis bisa membaca realitas dengan asma Tuhan, padahal seorang ateis tidak percaya Tuhan ? Apakah realitas yang dilihat seorang yang beriman akan sama dengan realitas yang dilihat oleh orang ateis ?

Sebuah dialog antara orang beriman dan ateis tentunya sering terjadi di dunia maya di era social media ini. Pertanyaan yang sering muncul biasanya, "siapakah yang menciptakan semesta ini ?". Pernah perdebatan terjadi antara seorang ilmuwan Fisika yang meyakini adanya Tuhan sebagai Pencipta semesta dan seorang ilmuwan Fisika yang tidak meyakini Tuhan sebagai Pencipta semesta. Perdebatan tersebut sebagaimana perdebatan serupa sebelumnya berakhir tanpa kesimpulan dan masing-masing kembali ke rumah "paradigma" masing-masing. 

Padahal kalau kita amati, si Fisikawan ber-Tuha maupun yang tidak ber-Tuhan tidak bisa membuktikan ada tidaknya Tuhan hanya dengan ilmu Fisika. Mengapa ? Karena ilmu Fisika tersendiri menggunakan epistimologi yang berbeda dalam melihat alam raya sebagai semesta. Bagaimana epistimologi yang berbeda dalam melihat "dunia luar sana" dapat menghasilkan hasil analisis yang sama ?

Perdebatan semacam ini sebenarnya sudah muncul jaman dahulu lewat perbedaan "pandangan" al-Ghazali dan ibnu Rusyd. al-Ghazali menyebut "kerancuan Filsafat" atau Tahafut al-Falasifah sedangkan ibnu Rusyd menyebutkan tentang Tahafut at-Tahafut atau "kerancuan dalam kerancuan". Banyak para pengamat jaman sekarang yang langsung memvonis "sesat" dan kafir pada ibnu Rusyd. Sebaliknya, banyak pula yang mengatakan al-Ghazali itu kolot dan kuno, terutama dari kalangan orang modern. Dan tidak sedikit pula "orang-orang yang mendeklarasikan hidup di atas sunnah" mengatakan bahwa al-Ghazali itu tidak memakai landasan al-hadits dan as-sunnah. Tidak sedikit pula yang akan memvonis ibnu 'Arabi sesat dan musyrik serta tidak berlandaskan al-Qur'an dan as-sunnah. Padahal kalangan yang berkata demikian apabila ditanyain mengenai sanad dan matan juga tidak akan mampu karena belajar dari orang yang tidak tahu pula.

Kembali kepada judul, "Membaca : Memahai Realitas di luar sana", lalu apabila demikian bagaimanakah kita akan memahami "bagaimana memahami realitas" di luar sana ?

Melihat realitas di luar sana, atau iqra' tentunya membutuhkan alat epistimologi (ilmu), baik itu alat epistimologi (ilmu) hushuli atau ilmu melalui perantaraan konsep atau ilmu kehadiran (hudhuur). Selanjutnya, apabila itu ilmu hushuul maka akan terjadi bounded reality dan conceptual boundary. Misalnya, seorang sosiolog akan melihat realitas yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan "kacamata" seorang sosiolog, begitupun seorang ekonom.

Untuk yang kedua, conceptual boundary terjadi karena ilmu hushuuli dapat dilihat melalui perantaraan konsep. Dalam arti kata, keahlian keilmuwan untuk melihat realitas diperlukan apabila aspek yang dilihat itu diperlukan. Misalnya pada kasus pelecehan dan sodomi di sebuah sekolah internasional bisa dilihat dari berbagai perspektif keilmuwan. Televisi yang ingin mendatangkan narasumber tentunya memerlukan mapping akan sudut pandang mana yang diperlukan. Misalnya, dari sudut pandang sosial, psikologis, hukum, psikologi anak, kriminalitas dsb.

Ilmu hudhuur atau ilmu dengan kehadiran dimana sang pengamat dan yang diamati berada pada ruang-waktu yang sama tanpa batas antara si pengamat dan yang diamati. Ilmu hudhuur dalam tasawuf adalah ilmu yang diperoleh dengan kehadiran. Berikut ini cuplikan dari sebuah blog yang menyajikan buah pandangan Mulyadhi Kartanegara :

Ilmu hushuli adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari objek yang ada di luar kita secara objektif. Misalnya pengetahuan tentang meja dan gelas yang ada di atasnya. Menurut ahli ilmu hudhuri, sebuah benda yang ada di hadapan kita, selalu memiliki dua macam objek. Objek subjektif yang ada atau hadir dalam diri (pikiran) kita, dan objek objektif yang ada di luar diri kita. Objek yang di luar diri kita disebut bentuk (shurah), sedangkan objek yang ada di dalam diri kita disebut makna. Ilmu hushuli dimungkinkan tapi tanpa jaminan kebenaran. Ia dicapai oleh manusia berdasarkan pada "keserupaan" atau "korespondensi" antara bentuk dan makna. Kalau korespondensi ini berkorelasi positif, maka pengetahaun dikatakan benar, kalau negatif maka dikatakan salah atau keliru.
Berbeda dengan midus ilmu hushuli, ilmu hudhuri pada umumnya berhubungan dengan makna atau objek subjektif yang sudah "dihadirkan" dalam diri kita. Ia bukan tentang objek objektif yang berada di luar diri kita, sehingga objek ini disebut absen atau tidak hadir dalam diri kita dan tidak bisa kenal secara langsung atau intuitif. Sebaliknya ilmu hudhuri selalu menangkap objeknya secara langsung, karena ia telah "hadir" dalam diri kita. Dan justru karena ia telah hadir dalam diri kita, maka kita mengetahui objek tersebut seperti kita mengetahui diri kita sendiri. Dari sinilah muncul konsep self-knowledge, pengetahuan tentang diri sendiri. Dalam pengetahun diri, karena subjek dan objek adalah sama, maka jurang yang biasanya menganga antara subjek dan objekpun telah terjembatani. Maka terjadilah identitas (kesamaan) antara subjek dan objek. Pengetahuan diri sedemikian langsungnya, karena tanpa simbol apapun, sehingga kebenarannya pasti terjamin, karena di sini knowing (mengetahui) adalah sama dengan ada (being), ringkasnya "knowing is being," di mana pengetahuan telah menjadi wujud itu sendiri.
Namun, ilmu hudhuuri ini hanya bisa didapat melalui pembersihan (tazkiyyatul) nafs.